February 16, 2009

Tentang Semalam

yang nulis isma di 10:11 AM 0 komentar
Tiga film drama romantis berhasil membiusku semalaman dari tiga stasiun TV yang berbeda, Ever-After-nya Cinderella, Pendamping Mempelai Terbaikku (pokoe yang main Julia Robert), dan Wedding Crasher. Tiga film itu memang bukan film baru, aku juga sudah pernah menonton sebelumnya, tapi tetap menarik untuk ditonton. Apalagi film jenis itu aku sangat suka.

Tema cinta dan pernikahan memang selalu menarik untuk dikisahkan dalam bentuk apa pun, apalagi film. Karena dua hal itu sangat erat berkaitan dengan aspek rasa sehingga mudah untuk didramatisasi dan dibuat "tragis". Saat bahagia bisa membuat penonton ikut tersenyum dan tertawa. Saat konflik membuat penonton ikut tegang dan dag dig dug. Saat cooling down, penonton ditarik ke suasana hening dan diam, tak merasakan apa-apa. Saat sedih penonton dibuat menitikkan air mata bahkan menyesalkan kenapa harus seperti itu. Dan, yang paling menarik buat aku adalah ketika cerita sedang berada di puncak cinta, yang seolah-olah membawa penonton ikut merasakan indahnya taman bunga dan sorga penuh kedamaian, romantisme yang menyentuh perasaan dan tak jarang ada yang berteriak, "Mauuuuuu..."

Tiga film semalam tentu tidak menghadirkan cinta dalam bentuknya yang datang dan mewujud secara tiba-tiba hingga ending pernikahan. Henry dan Daniela berjuang untuk kebersamaan mereka, Jules berupaya melakukan sesuatu untuk mendapatkan calon suami Kimmy, sahabatnya, dan John tak pernah menyerah untuk menyatukan rasa dengan Claire.

Dalam tiga bentuk kisah cinta yang semalam aku tonton, paling tidak yang pertama harus diyakini oleh sang pecinta adalah keberanian untuk mengakui, yah am falling love with u. Entah di awal rasa, di tengah perjuangan, atau bahkan hampir mendekati garis finish seperti yang dilakukan Jules. Selama 7 tahun dia memendam rasa pada sahabatnya yang akan menikah dengan Kimmy, dan beberapa jam sebelum pernikahan itu Jules berkata, "Aku mencintaimu. Menikahlah denganku, beri aku kesempatan untuk membahagiakan dan hidup bahagia denganmu."

Tapi, tak semua perjuangan sesuai dengan harapan. Henry dan Daniella juga John dan Claire adalah pasangan yang beruntung, tidak seperti Jules yang harus bertepuk sebelah tangan. Tapi, Jules adalah pejuang sejati. Dia tahu apa yang dia rasa, inginkan, dan melakukannya. Seperti yang dikatakan ayah Claire, "Kamu bisa melakukan kalau tahu apa yang kamu mau." Dan, pada proses itu tentu ada kisah yang pasti tak akan terlupa sepanjang zaman. Unforgetable. Seperti dalam The Lake House, ketika Sandra Bulock bertanya ke ibunya (kurang lebih), "Kenapa ibu tidak menikah dengan cinta pertama?" Sang Ibu menjawab, "Supaya kamu bisa bertanya tentang itu."

February 12, 2009

Tertinggal

yang nulis isma di 8:20 AM 0 komentar
Berkali-kali kucoba pejamkan mata, tapi rasa kantuk tak juga kunjung menghampiriku. Khalik, Laila, dan Budi tampak asyik terlelap dalam buai mimpi masing-masing. Semilir angin malam menerpa pipiku lewat jendela gerbong yang terbuka. Bunyi khas roda kereta yang beradu dengan rel menjadi musik klasik yang mengiringi perjalanan musafir.

Tepat pukul 19.30 kereta yang kutumpangi meninggalkan Gambir, membawa semua cerita tentang Jakarta. Setelah satu minggu gentayangan di ibukota dengan setumpuk pekerjaan lapangan, rasanya aku semakin mengakui bahwa kota tempatku belajar, Yogyakarta, adalah kota yang paling indah. Aku mendesah, membuang galau yang tiba-tiba begitu menyesak. Terus terang malam ini aku takut merasakan sesuatu karena yang tertinggal hanya kecewa dan putus asa.

“Aku kecewa, Bud,” ucapku tiba-tiba, siang tadi.
“Kenapa?” tanya Budi di tengah laju bus kota yang penuh sesak.
“Kita tak jadi ke Buris.”

Budi cuma tersenyum tipis. Tak berlebihan menanggapi aduanku. Aku juga tidak tahu pasti apakah ia menganggap biasa atau bagaimana aku tak tahu. Budi memang tak pernah tahu kalau aku sebenarnya kangen Buris. Sosok yang sempat membuatku gelisah, memudahkanku untuk termenung ketika ingat. Atau juga sosok yang menjadikanku bersemangat dengan surat balasan pertamanya. Aku benar-benar kangen Buris.

“Satu minggu di sini, tetap ndak ketemu. Sayang sekali,” gumamku pelan, hampir tak terdengar. Mungkin cuma oleh telinga hatiku yang peka akan gores kekecewaan dalam gumamanku. “Aku ingin ketemu Buris,” kali ini pun cuma genderang batinku yang mendengar.

“Rencananya sih abis ini mau main ke tempat Buris, kawan lama,” kata Budi siang itu ketika kami mampir ke rumah saudaranya. “Tapi ya macetnya itu yang nggak ketulungan. Waktunya mepet banget.”
“Oh gitu ya. Tapi, besok masih bisa ketemu di Yogya kan?”
Aku cuma tersenyum kecut mendengar tanya seorang ibu muda di depanku itu. “Dia sudah kerja dan menetap di sini kok, Bu.”
“Ooo,” cuma itu yang dikeluarkan dari bibirnya.

Aku tak menafsirkan banyak dari bunyi O-nya itu. Yang aku jelas tahu bahwa dia membenarkan kalau pertemuan itu sebenarnya tipis sekali, kecuali kalau aku nekat menambah jatah satu hari lagi untuk menemui Buris. Tanpa Khalik, Laila, juga Budi. Aku menelan ludah, pahit dan getir. Padahal aku buta Jakarta, tidak seperti ketiga orang temanku itu. Sedangkan sore ini mereka harus cabut dengan kereta kembali ke Yogya. Apa boleh buat, aku pun tak punya pilihan. Aku hanya bisa duduk terdiam tanpa berontak, dibawa laju kereta bersama gundukan keinginan bertemu Buris.

February 02, 2009

Mengapa

yang nulis isma di 11:32 AM 0 komentar
Pada saat-saat tertentu aku ingin sekali berlari ke tempat tak terjangkau, bahkan oleh angin pun. Sebuah tempat yang luas tak berbatas, tempat aku bisa berteriak sekeras-kerasnya. Melengking tinggi. Lalu, terdiam dalam gugu tangis selepas-lepasnya. Puas.

Aku memang sedang terhimpit beban, sebuah ketidakmengertian dan ketidakterimaan. Mengapa?
 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea