May 19, 2009

Mencari-Cari Penulis Perempuan Pesantren

yang nulis isma di 12:14 PM 2 komentar
Oleh: Nor Ismah*

Suatu ketika saya bertanya kepada seorang sahabat saya, “Ada nggak, Ibu Nyai yang juga seorang penulis?” Sahabat saya itu menjawab, “Ada. Nihayatul Wafiroh.” Tentu saja jawaban itu membuat saya terbahak karena dia menyebut namanya sendiri. Narsis, tapi memang beralasan karena tulisan dia paling tidak pernah dimuat di Kompas dan beberapa media nasional yang lain, dan dia memang seorang Ibu Nyai. Lalu, saya kembali bertanya, “Maksudku yang satu generasi dengan Ahmad Tohari atau Gus Mus?” Kali ini dia balik tertawa, berpikir sejenak, dan lalu menjawab, “Kalau itu sih, kayaknya tidak ada.”

Lalu, iseng-iseng saya coba membuka buku antologi puisi Risalah Badai yang terbit pada tahun 1995. Di antara 12 penulis yang masuk dalam antologi itu, hanya ada 3 penyair perempuan. Sama halnya ketika saya membuka buku Lirik Lereng Merapi yang terbit tahun 2001, dari 32 penyair hanya ada 9 penyair perempuan yang ikut menyumbangkan karya dalam buku antologi puisi itu. Meskipun dua buku tersebut tidak secara khusus memuat puisi tentang pesantren atau para penyair pesantren, paling tidak secara kasatmata bisa menunjukkan bahwa penulis, penyair, dan sastrawan perempuan memang lebih sedikit dibanding laki-laki, lebih-lebih jika perbandingan itu ditarik ke wilayah yang lebih spesifik, yaitu pesantren.

Perempuan Menulis: Beberapa Persoalan
Menulis bukan hal baru bagi pesantren. Kita mengenal nama-nama seperti Kiai Nawawi al-Bantani dan Kiai Jampes yang banyak menulis kitab dan dikaji di pesantren-pesantren hingga saat ini. Pengkajian kitab kuning dengan model maknani juga bisa menjadi contoh sederhana dari tradisi tulis di kalangan santri, baik santri putera maupun santri puteri, mengimbangi tradisi lisan yang bersifat hafalan dan retoris. Namun, tradisi itu belumlah cukup untuk menumbuhsuburkan lahirnya para penulis pesantren, lebih-lebih penulis perempuan.

Menjadi penulis bagi perempuan memang bukan hal yang mudah. Pertama, karena perempuan adalah “produk” dari sebuah budaya yang dalam satu sisi memberikan banyak “keistimewaan” pada laki-laki. Keistimewaan ini membentuk dengan sendirinya model dunia perempuan dan laki-laki secara berbeda berdasarkan budaya. Terutama yang berkaitan dengan wilayah publik. Ada macam-macam aturan budaya bagi jenis perempuan yang pada akhirnya membentuk kecenderungan perempuan yang pasif. Sedangkan laki-laki terbentuk menjadi pribadi yang agresif dan kuat.

Meskipun santri putera dan santri puteri sama-sama harus mematuhi seperangkat peraturan, karena jiwa agresif dan kuat khas laki-laki memungkinkan santri putera untuk melakukan “pemberontakan”, mbeling, demi meluluskan keinginan dan obsesinya. Beberapa kelonggaran untuk akses keluar juga lebih banyak berpihak pada santri putera. Misalnya, untuk wawancara dengan nara sumber, santri putera bisa keluar dari batas wilayah pesantren. Sementara, bagi santri puteri, sebisa mungkin sumber informasi didapat dari nara sumber yang tinggal di wilayah pesantren.

Dalam proses selanjutnya, ketika santri puteri sudah menahbiskan diri sebagai penulis, bukan hal yang mudah juga untuk menjaga kontinuitas kepenulisannya, apalagi jika dia sudah punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Menulis adalah soal waktu dan kebiasaan. Soal kemauan dan keseriusan. Anggapan bahwa menulis adalah hobi dikalahkan oleh tanggung jawab sebagai istri dan ibu, bukan mengompromikan antara keduanya. Kondisi ini sering kali membuat proses kreatif terhambat dan mandeg.

Persoalan ini tentu saja tidak dihadapi oleh penulis laki-laki. Ia mendapat keistimewaan sebagai melaksanakan kewajiban keluarga dengan menulis dan banyak berkiprah ke ranah publik. Di dalam keluarga, begadang sampai malam untuk menulis bukanlah suatu persoalan bagi penulis laki-laki, namun sebaliknya bagi penulis perempuan. Karena budaya melabelkan tugas meninabobokan anak sebagai tanggung jawab perempuan. Praktis tak ada waktu yang tersisa.

Tak heran jika proses kreatif itu kemudian terhenti. Meskipun sebenarnya potensi kepenulisan santri puteri tidaklah kalah dibanding santri putera. Contoh konkret adalah buku kumpulan cerpen Menjadi Bidadari yang diterbitkan Matapena tahun 2008. Di antara 6 penulis dari PP Langitan itu, 4 orang adalah penulis perempuan. Dalam beberapa kali roadshow yang dilakukan oleh Matapena, antisiasme santri puteri juga justru lebih banyak dibanding santri putera, apalagi yang kaitannya dengan penulisan fiksi.

Kedua, persoalan publikasi media yang tidak selalu memihak pada tulisan perempuan. Ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa tulisan-tulisan perempuan adalah karya yang kurang penting, populer dan tidak bertahan lama. Cengeng dan tidak berbobot seperti tulisan laki-laki. Lagi-lagi, karena kanon kritik dibuat dan dirumuskan oleh laki-laki. Atau, bisa jadi sebenarnya banyak karya yang sudah ditulis oleh penulis perempuan pesantren, namun karya itu dibiarkan untuk tidak dipublikasikan sehingga luput dari pengamatan para kritikus ataupun pemerhati sastra dan buku.

Dan, marginalisasi ini tidak hanya disebabkan oleh karena mereka perempuan, tetapi juga karena mereka berasal dari pesantren; satu wilayah yang sementara ini masih marginal. Kecenderungan media atau penerbitan yang pro pasar tentu akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan tulisan tentang remah-remah kehidupan pesantren. Contoh sederhana adalah tulisan tentang pengalaman hidup remaja santri. Ini adalah bagian cerita yang tidak laku dan populer. Berbeda dengan kehidupan remaja yang metropolis dan gaul yang banyak ditulis dan tersebar di pasaran.

Perempuan Menulis: Tak Ada Waktu untuk Menunggu
Tanpa bermaksud membuat separatisme antara penulis laki-laki dan perempuan, perempuan juga mempunyai tanggung jawab untuk menuliskan “sejarah kehidupan”-nya sendiri. Sebuah tulisan dalam bentuk yang sederhana tetap akan menjadi catatan yang merekam peristiwa pada zamannya. Helena Cixous menulis, “I shall speak about women’s writing. Woman must write herself… Woman must put herself into the text—as into the world and into history—by her own.”

Banyak tokoh perempuan pesantren yang berperan besar dalam kondisi krisis. Mereka bisa tampil di baris paling depan, punya inisiatif dan keberanian mengambil resiko, punya sikap tegas, dan keyakinan diri, bermental perintis dan pendobrak. Sebut saja Nyai Solichah A. Wahid Hasyim (alm), ibunda Gus Dur. Namun, tanpa catatan dan tulisan, sejarah ini akan menguap tak terlacak.

Begitupun dengan banyak perubahan yang terjadi di pesantren, terutama pesantren puteri. Ambil contoh kebijakan memakai jilbab tahun 90-an, menggantikan kerudung segitiga untuk berkegiatan di dalam pesantren. Proses perubahan ini tentu tidak muncul dengan tanpa sebab dan keterpengaruhan pada perubahan sosial yang terjadi di luar pesantren. Di sinilah penulis perempuan memiliki andil untuk menuliskan, karena perubahan ini berkaitan erat dengan perempuan.

Menulis bukan sekadar bermain kata dan bahasa, melainkan juga gagasan dan perspektif. Persoalan perempuan akan lebih tajam jika dilihat dengan melibatkan perspektif perempuan. Sudah banyak persoalan dan tema tulisan yang ditulis dengan perspektif laki-laki, terutama soal tafsir ajaran agama. Peran-peran besar Ibu Nyai di dalam pesantren juga terkesan biasa-biasa saja dan sebatas melengkapi karena sejarah yang dituliskan tidak berperspektif perempuan.

Menurut saya, sudah tak ada lagi waktu untuk menunggu lahirnya para penulis perempuan dari pesantren yang menulis tentang perempuan yang berperspektif perempuan. Ibu Nyai yang penulis juga akan sangat berpengaruh di kalangan santri sebagai figure yang bisa memberikan semangat dalam kepenulisan. Selain, memberikan “perspektif lain” dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan potensi santri.

Lahirnya komunitas-komunitas kepenulisan di pesantren bisa menjadi “sekolah alternatif” untuk para santri berproses dalam kepenulisan. Tinggal bagaimana kemudian akses dan kesempatan yang diberikan tidak berpihak sebelah. Penulis perempuan juga bisa mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk mengeksplorasi potensi mereka masing-masing. Kelompok-kelompok itu juga bisa menjadi gerakan yang massif untuk mempublikasikan karya sehingga bisa diperhitungkan di ranah publik.

Dan endingnya adalah dalam satu tahun yang akan datang, saya tidak perlu lagi bertanya pada Nihayatul Wafiroh untuk menemukan nama Ibu Nyai yang penulis. Saya cukup membaca tulisan itu, entah dalam bentuk seperti apa. Yang pasti sebuah catatan, bahwa di antara celah-celah ketertutupan pesantren, ada Ibu Nyai yang menuliskan setiap perubahan dan pergolakan di dalamnya dengan perspektif perempuan.

#dimuat di majalah Kakilangit Pesantren Langitan Tuban edisi April-Mei 2009

May 12, 2009

Menantu

yang nulis isma di 3:53 PM 1 komentar
Cerpen by Isma Kazee

Satu per satu para tamu meninggalkan halaman rumah keluarga besar Purwanggono, atau lebih tepatnya rumah mertua Nenden. Neng, demikian ia biasa dipanggil, sekarang sudah sah menjadi istri Harjo, anak ketiga keluarga Purwanggono. Di pintu gerbang, terbuat dari anyaman daun pohon kelapa, Nenden dan Harjo berdiri menyalami tamu-tamu yang hendak berpamitan. Di samping mereka berdiri kedua orang tua masing-masing.

“Selamat ya, Nak. Mugo-mugo cepet dapat momongan,” kata seorang ibu ketika menyalami Harjo. Laki-laki itu cuma mengangguk sambil tersenyum. Mimiknya lucu. Mungkin karena ia harus tersenyum sepanjang acara, padahal sebenarnya ia tidak sedang ingin tersenyum. Sebenarnya tidak hanya Harjo yang merasa keki seperti itu, Nenden pun tampak demikian. Tapi apa boleh buat, demi peristiwa sekali seumur hidup, pikir mereka.

“Jaga diri baik-baik ya,” kata yang lain.
Dan masih banyak lagi petuah, harapan, dan doa terucap lewat bibir-bibir para tamu. Sampai akhirnya, halaman itu benar-benar kosong. Tamu-tamu sudah pulang, demikian juga rombongan keluarga Nenden. Tenda putih untuk resepsi sudah dibongkar. Kursi-kursi sewaan sudah dikembalikan. Perangkat sound system sudah tidak ada di tempatnya lagi. Sampah-sampah pun sudah disapu bersih.

Tinggal ibu-ibu yang sibuk di belakang membereskan alat-alat dapur, dan menyisihkan sisa makanan yang bisa dibagi-bagi. Suara mereka terdengar riuh rendah. Tinggal Nenden dan Harjo yang belepotan dengan make up di wajah. Tinggal kado-kado yang tampak menumpuk di pojok bilik tempat kedua pengantin itu membersihkan wajah. Tinggal kenangan manis acara boyongan pernikahan Nenden dengan Harjo siang itu. Tinggal status baru untuk Nenden dan Harjo sebagai suami istri, juga sebagai menantu.

***

“Sudah to, Neng. Jangan suka main perasaan. Jalani aja semuanya dengan positif thinking,” begitu nasihat Harjo pada suatu pagi kepada istrinya.
Dihitung dari acara boyongan perkawinan, mereka sudah satu minggu menjadi suami istri. Satu pengalaman hidup yang benar-benar baru bagi mereka. Mereka sudah terbiasa makan, bercengkerama, dan tidur bersama. Mereka semakin terbiasa berbagi suka dan duka. Tak ada yang disembunyikan dari pribadi kedua pengantin muda itu. Tapi, masih ada saja yang membuat perasaan Neng tidak enak.

“Iya. Tapi menjaga agar hati Neng selalu berprasangka positif bukan hal yang mudah. Sok atuh Akang tinggal di rumah abah mamah di Sukabumi sana. Pasti akan merasakan apa yang Neng rasakan sekarang.”

Ingin rasanya Neng menambah alasannya lagi. Siapa bilang menjadi menantu di rumah mertua itu gampang. Dulu, sebelum menikah, banyak sekali teman-teman sekantor Neng yang memberi wejangan, nasihat, juga tips-tips menghadapi mertua. Neng pun menerima semua pesan itu dengan dua daun telinga yang terbuka lebar. Bahkan ada beberapa yang Neng hafal. Tentu saja karena tidak sedikit yang bilang kalau tinggal bersama mertua adalah masa-masa tersulit dalam kehidupan perkawinan. Belum lagi jika ada kakak atau adik ipar. Wow! Neng jadi mabuk.

Tiga hari yang lalu, Haryati, adik Harjo berteriak keras ketika dia dapati pintu rumah depan masih tertutup, padahal sudah pukul 09.00. Memang biasanya pintu itu harus sudah dibuka lebih pagi untuk tempat sirkulasi udara. Siapa yang menyapu ruang tamu, secara otomatis dialah yang akan membuka pintu itu. Dan kebetulan, pagi itu Nenglah yang menyapu.

“Siapa yang tidak tersinggung. Masak Yati teriak: apa sih susahnya buka pintu!” lanjut Neng sambil manyun. “Enggak usah pakai teriak ngapa…”
“Tapi Yati enggak bermaksud teriak ke Neng kok,” kata Harjo menghibur.
“Enggak teriak ke Neng gimana. Jelas-jelas dia tahu kalau Neng yang nyapu tiap paginya. Emangnya Yati enggak tahu apa kalau kunci pintu disimpan di kamar ibu. Enggak mungkin kan Neng masuk nyelonong ambil kunci. Apa susahnya ia yang membuka pintu itu, tanpa harus berteriak begitu?”

Harjo terdiam. Dia dalam posisi yang sulit. Dia sebenarnya bermaksud menghibur istrinya itu dengan mengatakan: “Maafin Yati ya, Neng. Enggak usah dianggap teriakannya itu. Dia mungkin lagi kesal atau capek.” Tetapi dia takut istrinya itu akan mengira dia membela adiknya sendiri.

“Besok lagi Neng enggak mau nyapu kalau pintu rumah belum Akang buka,” kata Neng kemudian. Sepertinya dia sudah bisa meredakan emosinya dan menemukan solusi terbaik agar kejadian pagi itu tak terulang lagi. Dan Harjo pun mengangguk lega.

***

Pada suatu siang, di hari Minggu, Harjo berdiri tak mengerti melihat Neng tampak sedang mengemasi semua pakaian yang ada di almari. Separo isi almari sudah tertata rapi berpindah ke dalam koper. Harjo segera menutup pintu kamar dan berjalan menghampiri Neng. Istrinya itu tampak berlinang air mata.

“Kita kontrak, Kang,” ujarnya parau.
“Kontrak piye to, Neng?”
“Kontrak ya kontrak. Neng enggak betah tinggal di rumah ini. Neng pingin punya rumah sendiri. Akang masak enggak ngerti sih!”
Harjo terkesiap. “Tidak betah? Benarkah Neng tidak betah?”

Neng tiba-tiba terdiam. Kata-kata itu begitu saja keluar lewat bibirnya. Padahal selama ini sebisa mungkin Neng tidak melontarkannya. Sesuai janjinya pada Harjo, dia akan belajar untuk betah tinggal di rumah mertuanya. Tetapi ternyata baru berjalan satu bulan, kata tidak betah terlontar dari bibir Neng.

Tidak hanya sekali sebenarnya, tetapi sering kali Neng merasa tidak enak waktu bangun siang karena semalaman dia harus lembur mengerjakan tugas-tugas kantornya. Atau dia lebih suka melepas penat dengan tiduran di kamar setelah seharian bekerja, sementara anggota keluarga yang lain ramai-ramai ngobrol di ruang tengah. Atau, dan ini yang paling membuatnya keki adalah kewajiban srawung dan nonggo yang seratus persen dia akui jarang dilakukan karena ia merasa tak lagi punya energi untuk melakukannya.

“Neng, banyak lo tetangga-tetangga yang bilang katanya mantu ibu enggak mau dolan-dolan. Sombong. Enggak seperti mantu-mantu tetangga yang lain,” celetuk ibu mertua Neng pada suatu sore.

“Ohh,” Neng terkesiap. “Maaf, Bu. Neng pikir sih sesekali bertegur sapa sudah cukup. Neng enggak perlu menyediakan waktu khusus untuk dolan,” balas Neng agak kikuk.
“Apa salahnya to main dan ngobrol bareng mereka,” tambah sang ibu. “Seharusnya kamu tahu kalau tinggal di desa itu mesti ramah dan sumeh. Kekeluargaannya itu masih kental. Kalau kamu enggak mau mengikuti aturan hidup di desa ya bisa dijamin enggak bakal punya tetangga yang peduli. Sebagai orang tua ibu sih cuma ngingetin.”

“Terima kasih, Bu. Neng enggak bermaksud untuk menyalahi aturan. Tapi Neng pingin biasa-biasa saja. Neng cuma terbiasa melakukan apa yang bagi Neng harus dilakukan. Kadang kalau Neng terlalu memusingkan apa kata orang Neng malah enggak bisa enak melakukan sesuatu. Karena orang lain sering kali memakai pola pemikiran mereka sendiri tanpa peduli dengan apa yang Neng sedang rasakan dan pikirkan. Di samping itu rasanya Neng sudah kecapekan begitu nyampai rumah.”

Ibu Harjo terdiam. Tetapi kemudian dia bersuara dengan nada keras, “Berarti kamu enggak mau srawung? Kamu pingin nglakoni apo karep-mu, begitu?”
“Bukan begitu, Bu. Bukannya Neng enggak mau srawung. Tetapi biarlah itu berjalan biasa-biasa saja. Toh Neng tinggal di sini juga baru satu bulan, masih ikut Bapak-Ibu. Lama-lama nanti Neng juga bakal kenal dengan seisi kampung sini, tanpa harus serius memaksakan diri untuk srawung.”
“Healah. Karepmu kono!”

Dan, Neng jadi kepikiran. Sebenarnya tanpa dipikir pun bisa. Tetapi, Neng tetap kepikiran. Bagi Neng menyapa ketika berpapasan dengan orang lain, mengangguk atau tersenyum kepada mereka sudahlah cukup untuk tidak dianggap sombong. Lagian Neng juga ikut jagong bayi tetangga yang melahirkan dan kondangan manten. Kenapa harus melakukan dolan-dolan khusus, kalau memang Neng marasa sudah kehabisan waktu untuk itu.

“Bisakah kita bicarakan kembali tentang keinginan Neng untuk kontrak?” tanya Harjo pelan berusaha meredam perasaan istrinya.
Neng tak menjawab, tetapi malah terisak. Meski sering kali Neng bisa kelihatan dewasa, namun kali ini dia tak habis pikir kenapa bisa perasa dan sentimentil seperti ini.

“Di rumah ini Neng jadi bingung. Karena Neng seperti dituntut untuk menjadi orang lain, sementara kalau enggak nurut pasti bapak ibu akan membenci Neng,” ucap Neng akhirnya. “Tidak bisakah mereka membebaskan kita untuk melakukan apa yang akan kita lakukan? Karena tidak selamanya pola pikir mereka benar dan tepat untuk kehidupan kita.”
“Ya… ya… Memang kitalah yang lebih tahu tentang kita. Akang sepakat itu. Akang juga tidak mau ada campur tangan dari bapak ibu. Tapi apa kemudian kita harus kontrak saat ini juga?”

“Selama kita masih tinggal satu rumah, bagaimana bisa kita lepas dari campur tangan mereka? Akang kumaha sih!”
“Ya kita bicarakan lagi dengan bapak ibu, kita minta mereka untuk lebih bersikap demokratis…”
“Susah, Akang!” potong Neng. “Akang kayak enggak tahu bapak ibu saja. Yang saya lakukan kemarin emang bukan berargumen dengan baik?”

Harjo terdiam. Menatap mantan pacarnya yang tampak mendung. Sebagai orang baru di rumah, bagi Harjo Neng terbilang berani dan bisa melakukan pembelaan di hadapan mertuanya. Tidak seperti dirinya yang cenderung diam dan tidak berani membantah. Termasuk membantah keputusan orang tuanya untuk supaya menetap di rumah induk karena dua kakak laki-lakinya sudah pisah rumah, sementara adik bungsunya adalah perempuan. Dalam tradisi Jawa, anak perempuan jika sudah menikah biasanya akan mengikuti ke mana suaminya akan pergi, demikian juga dengan Yati.

Harjo tahu persis bagaimana perasaan Neng saat ini. Neng yang terbiasa hidup jauh dari orang tuanya karena kuliah di Jogja tentu terbiasa juga dengan pilihan hidupnya tanpa campur tangan berlebihan dari orang tuanya. Neng bukan orang rumahan, dan terbiasa mandiri. Lalu, tiba-tiba ia masuk dalam kehidupan yang demikian mengikat. Lebih-lebih menghadapi ibu Harjo yang begitu memiliki anak-anaknya itu.
“Neng, kita coba dulu ya. Kita coba bicara baik-baik sama bapak dan ibu,” ucap Harjo, kali ini sambil merengkuh Neng dalam pelukan.

*****

Nenden berjalan gamang, mengikuti langkah penumpang yang lain menuju tempat pengambilan barang. Pukul 13.24 WIB pesawat yang ditumpanginya baru saja mendarat di Surabaya. Membawa terbang dirinya dari rumah mertua seorang diri. Tepat setelah tiga malam sebelumnya ia dan suaminya berbincang mendalam dengan bapak ibu tentang uneg-uneg mereka.

“Wis sakkarep. Mentang-mentang aku itu orang tua ya, sudah ketinggalan jaman jadi sudah tidak perlu digugu lagi,” jawab ibu Harjo. “Dikandani apik-apik kok malah nggugu karepe dewe. Iya kan Pak?” Bapak mengangguk setuju.
“Bukan begitu, Pak Bu. Saya dan Neng cuma ingin bersikap wajar-wajar saja kok. Bapak dan Ibu bisa memahami dan lebih memberi kami kebebasan tanpa harus didikte ini itu. Toh kita sudah sama besar dan mengerti bagaimana baiknya,” Harjo menjelaskan.
Perbincangan itu mentok. Sebagai menantu yang baik Neng tetap diharuskan ikut menjaga nama baik mertuanya dengan srawung dan nonggo seperti menantu-menantu yang lain, dengan ikut arisan malam Rabulah atau pengajian ibu-ibu malam Jumat. Tanpa mau mendengar keluhan Neng yang merasa capek karena sering kali sampai rumah lepas maghrib.

“Istri kok bekerja, ya ini akibatnya. Mana besok mau ongkang-ongkang satu bulan di Surabaya, meninggalkan suaminya ngurus dirinya sendiri. Apa patut itu?” kali ini bapak berkata tajam.

Neng terhenyak, tapi Harjo dengan hangat meremas tangan istrinya itu untuk memberikan kesabaran. Seolah membisikkan, “Percuma membantah pada bapak ibu dalam kondisinya yang sudah dianggap salah. Percayalah padaku, suamimu yang akan terus mendukung dan memahami siapa pun dirimu.”

Nenden menarik napas lega. Ia tak pernah ragu pada komitmen Harjo. Pun ia mantap menerima tawaran magang di perusahaan rekanan tempat ia bekerja, juga karena dukungan suaminya itu. Sekalian melepaskan diri menjadi pasangan suami istri yang ia dan Harjo inginkan. Mungkin di akhir bulan nanti akan ada jalan terbaik untuk kehidupan mereka berdua.

“Satu bulan itu tidak lama, Neng. Terima saja tawaran itu supaya Neng bisa berkembang lebih baik lagi. Toh tiap hari kita bisa berkomunikasi dan tiap akhir minggu Akang bisa menemui Neng di Surabaya,” demikian Harjo meyakinkan.
Sambil menarik troli berisi satu koper besar dan tas punggung, Nenden menghidupkan Hpnya. Sebelum ia sempat menelpon sopir agen travel yang sebelumnya sudah ia dapatkan, sebuah pesan singkat masuk:

Dari: Akang
Ngapurane ya Neng. Tadi enggak sempat mengantar. Tapi rasakan, ada Neng dalam setiap tarikan napas Akang. I Love U.

Yogyakarta, 10 Maret 2009

#dimuat di majalah A-Madinah Surabaya edisi Mei 2009

May 07, 2009

selesai hujan

yang nulis isma di 4:51 PM 1 komentar
setiap kali selesai hujan
tanah di depan rumah akan basah
menyengatkan aroma khas
tentang kampung halaman

dulu, nudmilla suka sekali
bergerak di bawah hujan menari-nari
berkepak-kepak seperti meri
tanpa payung juga alas kaki

saat ini, hujan membuat tanah itu biru
bukan warna melainkan haru
tak ada lagi aroma khas tentang kampung
tak ada juga nudmillaku

tapi, hujan masih terus akan turun
meski hanya basahi tanah layu
dan hanya aku
yang bisa menikmatimu
 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea