October 30, 2009

“Men are from Mars-Women are from Venus”

yang nulis isma di 12:16 PM 0 komentar
Egoisme adalah salah satu sifat bawaan lahir manusia yang memang dipunyai oleh semua orang, namun bagaimana proses mengatur ego itu yang menjadi permasalahan sekarang. Pun begitu dengan hubungan sepasang kekasih atau keluarga dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga yang harmonis masing-masing pihak yaitu suami atau istri dapat menghargai satu sama lain artinya mereka dapat menerima perbedaan-perbedaan yang pada intinya adalah dapat mengatur ego masing-masing. Kalau sama-sama keras kepala ( stubborn ) yang ada diantara pasangan tersebut ketidakcocokan, pertengkaran bahkan perceraian yang akan terjadi. Seringkali kita mendengar proses perceraian dalam rumah tangga disebabkan oleh hal yang sangat sepele, misal istri tidak pengertian, suami sering pulang terlambat atau hal-hal lain yang sebetulnya tidak prinsip. Dari hal-hal kecil tersebut kalau tidak diantisipasi sedini mungkin akan berakibat fatal. Apabila laki-laki dan perempuan sanggup menghargai dan menerima perbedaan-perbedaan mereka, cinta mempunyai peluang untuk tumbuh berkembang secara abadi dalam setiap pasangan-pasangan yang ada. Melalui pemahaman akan perbedaan-perbedaan lawan jenis yang tersembunyi, kita lebih dapat berhasil memberi dan menerima cinta yang ada dalam hati kita.

Ketika kita berbicara karakter laki-laki, terkadang ada hal-hal aneh yang tidak dimengerti oleh perempuan. Kehidupan orang-orang Mars ( kaum lelaki ) yang menghargai kekuasaan, ketrampilan, efisiensi dan prestasi. Sehingga keilmuan, kekuatan, kecerdasan, eksistensi diri menjadi simbol dari "kekuatan laki-laki". Tanpa hal itu yang dimiliki oleh makhluk dari Mars akan sulit rasanya untuk berbangga diri apalagi kalau dilakukan didepan makhluk dari Venus. ya memang itulah karakter orang-orang Mars yang identik dengan kekuatan dan rasio. Pemahaman atas sifat khas orang Mars ini dapat menolong kaum perempuan untuk memahami mengapa kaum laki-laki sangat tak suka koreksi atau diberitahu apa yang harus dilakukannya. Menawarkan nasihat yang tidak diinginkan kepada laki-laki sama dengan menganggap ia tak tahu apa yang mesti dilakukan atau bahwa ia tak dapat melakukannya sendiri. Kaum laki-laki sangat sensitif dalam hal ini, sebab masalah keahlian sangat penting baginya. karena ingin menangani kesulitan-kesulitannya sendiriian, penduduk Mars jarang membicarakan masalah-masalahnya, kecuali jika ia membutuhkan nasihat ahli.

Apa yang terjadi di Venus yang identik dengan perasaan,emosi, kelemahlembutan kontras sekali dengan apa yang terjadi di Mars. Penduduk Venus mempunyai nilai yang berbeda dengan Mars. Kedamaian, rasa cinta, saling tolong menolong hidup penuh dengan keselarasan dan keseimbangan sangat diharapkan oleh para penghuni planet ini. Orang-orang Venus sangat intuitif. Mereka telah mengembangkan kemampuan itu karena berabad-abad lamanya untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan orang lain. Mereka membanggakan diri karena memperhatikan kebutuhan dan perasaan-perasaan orang lain. Tanda cinta yang besar ialah menawarkan bantuan dan kerjasama dengan penduduk Venus yang lain tanpa diminta.

Perempuan itu perlu menerima: perhatian, pengertian, hormat, kesetiaan, penegasan, dan jaminan. Laki-laki perlu menerima: kepercayaan, penerimaan, penghargaan, kekaguman, persetujuan, dan dorongan.

* dari resensi buku karya John Gray, Ph.D

October 26, 2009

Sofa Lobi

yang nulis isma di 4:41 PM 0 komentar
Tak ada yang berubah, masih seperti tujuh tahun yang lalu. Tubuhnya tetap pada postur dan berat badannya. Tidak terlalu tinggi, juga tidak gemuk. Berkacamata, ini yang berubah. Dulu gagangnya berwarna silver, terakhir Liana melihatnya. Ketika berpisah di dalam gerbong kereta ekonomi Jogja-Surabaya. Ia menangis, menggenggam tangan Liana dan menciumnya.

“Hai hai,” mereka tergelak bersama, saling tatap, meneliti perubahan. Sambil mencari posisi duduk di sofa lobi. Tapi, Liana bisa menangkap keterkejutan di wajah laki-laki itu. Mungkin karena Liana tak seperti tujuh tahun lalu, lebih gemuk dan bulat di mana-mana.
“Kamu nggak tahu ya...”
“Enggak.”
“Lho, Fahri emang nggak bilang? Aku terakhir ketemu nggak lama kok.”
Ia menggeleng sambil tertawa.

“Ada acara apa, Lang?” Liana bertanya. Lobi sedang tidak sepi. Lalu lalang orang tampak dengan aktivitas masing-masing.
“Training, baru selesai semalam.” Lalu, ia bercerita tentang pekerjaannya. Tentang tiga tahun yang menunggu, sebelum kemudian ia menikah dan lolos tes untuk pekerjaannya yang sekarang. “Jadi penghulu kan harus nikah dulu. Padahal, sejak kamu tinggalin itu aku nggak minat nikah.”
Kali ini giliran Liana yang tergelak. Gombal terdengar di telinganya.
“Kamu masih menyimpan foto segede gaban dulu itu?”
Ia mengangguk. “Masih, di antara tumpukan berkas pekerjaanku. Ya, biar saja itu menjadi bagian dari bukti sejarah,” jawabnya beromantisme. “Bagaimana denganmu? Sudah jadi apa kamu sekarang?”

“Aku? Sudah jadi direktur,” jawab Liana lalu mengumbar tawa. Dia juga bercerita tentang kegiatannya sekarang, tentang proyek-proyek baru, juga tentang keluarganya. Elang mendengarkan dengan seksama. “Kamu memang selalu rajin, Na.”
“Rajin? Maksudnya?”
“Ya rajin dalam segala hal. Aku selalu kalah. Termasuk soal yang satu itu,” jawabnya lalu tertawa.
Liana yang sempat melihat Elang melempar pandang ke arah perutnya langsung mencibir. “Enak aja. Anak pertamaku sudah besar lagi. Sudah waktunya dapat adik.”

Tiba-tiba hape Liana berdering, sebuah panggilan masuk. “Halo. Oke Mas, sebentar saya ke sana. Yup, pasti. Bye.” Liana menutup pembicaraan, lalu berucap, “Lang, tadi bosku telpon, aku harus ke kantor. Maaf ya, tidak bisa ngobrol lama.”
Elang tersenyum, mengerti. “Aku justru berterima kasih, bisa ketemu aja aku sudah senang kok.”

Liana lalu beranjak, mendekati Elang untuk menerima uluran tangannya, bersalaman.
“Boleh aku pegang babymu, Na?” tanya Elang.
Liana tersenyum, lalu mengangguk. Mungkin hanya satu detik, tangan Elang menyentuh perut buncit Liana, kemudian berucap, “Jaga baik-baik dirimu dan babymu ya.”
Lagi-lagi Liana mengangguk, sebelum berlalu. Elang mengikutinya dari belakang, mengantarnya sampai pintu depan lobi.

Selintas, Liana masih sempat menatap sofa itu, berwarna kuning gading. Hanya sepuluh menit ia duduk di atas sofa itu, membawanya kembali pada kenangan tujuh tahun silam. Waktu memang telah berubah, tapi pada sofa itu ia masih merasakan kedekatan dan ketulusan.

October 10, 2009

Maaf

yang nulis Isma Kazee di 2:11 PM 0 komentar
Sebuket bunga, pernuh warna-warni, sudah terduduk rapi di atas meja, di depan rumahku. Selembar kertas kartu ucapan, aku raih dan tertulis di atasnya:

"Aku minta maaf sedalam-dalamnya. Atas semua kesalahan baik yg disengaja atau tidak. Kekerasa hati, kekerasan ucap, semata-mata hanya karena cinta. Tak ada sedikitpun kebencian, kejengkelan, dan kemurkaan yang tidak disebabkan karena cinta. Sudilah kiranya maafkan aku. Semoga bisa dimaklumi kekuranganku. Soal menata emosi memang aku paling lemah dan cenderung tidak mampu mengendalikan diri."

Aku terdiam, menikmati semilir angin yang perlahan bergerak membawa panas dan gerah siang ini.

October 01, 2009

Unmemorabilia

yang nulis isma di 9:24 AM 0 komentar
"Ken, kamu ingat kita pernah menikmati es teler di gang ini. Waktu itu kamu yang meminta dan aku mengiyakan. Kita naik angkutan umum karena motorku sedang dalam perbaikan."

Ken terdiam, keningnya berkerut2 coba mengembalikan ingatan. Tapi, kemudian ia menggeleng, menyerah.
Aku tersenyum getir. Mengusap2 tangan Ken, memberinya kekuatan. "Kita ke tempat lain ya."

Mobil bergerak untuk yang ke seribu kalinya, menelusuri setiap kenanganku bersama Ken selama dua tahun ini. Sayang, tak ada satu pun yang masih menyisa dalam ingatan Ken. Semua sudah seperti kapur barus, hilang oleh udara bahkan membawa aromanya musnah tanpa bekas. Mobil ini sudah bergerak hampir dua bulan, setiap hari, tiada henti. Mengantarkan aku dan Ken untuk ribuan kenangan itu.

"Di pinggiran pantai ini, kamu masih ingat, pertama kali kau mau cium aku, Ken. Lembut dan penuh rasa. Aku bahkan masih bisa mengingat lembut dan rasanya. Di sini," jelasku sambil menunjuk bawah hidung dan bibirku, lalu turun ke dadaku.

Ken menatapku datar, seperti tanpa keterlibatan apa-apa, melempar pandang ke laut lepas yang bergelombang pelan. Tak lagi aku temukan tatap cinta seperti waktu kita pertama kali ke pantai ini. Tak ada lagi binar bahagia seperti dulu setiap kali ia berada di dekatku.

Kudengar ia menarik napas, dan berucap,
"Sudahlah Da, aku sudah capek. Mungkin lebih baik aku amnesia. Hidup dengan pijakan dan untuk kenangan yang baru. Terima kasih untuk ribuan kenangan yang lalu itu. Terima kasih kau masih mau menyimpan kenangan-kenangan itu untukku."
"Tapi, kita harus tetap berusaha kan Ken?"
"Hmmm, aku sudah capek. Mungkin kita biarkan saja waktu yang akan mengambalikan semua kenangan itu. Hanya saja tidak saat ini atau dalam waktu dekat ini. Atau malah sudah tak ada gunanya lagi. Aku benar-benar lelah, Da."

Angin pantai berhembus, menggerakkan anak rambut di dahiku. Aku hanya bisa tersenyum getir. Teringat catatan terakhir sebelum Ken amnesia di buku hariannya: 'Mungkin lebih baik aku amnesia dan melupakan rasa sakit dan trauma karena perubahan sikapmu, Mahda. Sebagaimana kau seperti ingin melupakan dan melemparku jauh-jauh'.

Kutatap Ken yang sudah beranjak, menapakkan jejak kaki di pasir pantai dalam tunduk dalam. "Hmmm, seandainya waktu juga bisa diputar," gumamku lirih.
 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea