Sebut saja Aini, pagi ini menyapaku. Dia sekarang mengajar di sebuah perguruan Islam negeri di Kalimantan. Sedang ada urusan kampus soal akreditasi, katanya. Sambil menunggu teman-temannya berkumpul, dia menelponku.
"Setiap kali aku mendengar cerita kamu dan Nina, aku jadi bersemangat lagi, Is. Kehidupan kalian begitu asyik dan dinamis," ia menjelaskan.
"Ah, masak? Sementara aku setiap membayangkan aktivitasmu justru sangat asyik dan tidak stagnan seperti aku lho...," aku membantah. "Kamu punya banyak peluang, untuk sekolah lagi misalnya, tanpa harus banyak melakukan kompromi karena kamu masih single."
Dia tergelak. "Inilah perlunya kita selalu menjaga kontak, Is. Karena sawang sinawang itu bisa saling membuat kita mensyukuri apa yang kita miliki sekarang. Sebab sering kali kita tidak sadar betapa berharganya hidup kita yang selama ini kita anggap stagnan dan itu-itu saja."
Aku mengangguk. Mengiyakan. "Dan, seperti itulah seorang teman yang baik kan, Ni?"
"Iya. Dan lebih dari itu, inilah sisi lain kehidupan batin perempuan. Dia butuh teman yang meyakinkan bahwa apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang biasa. Dia butuh teman sharing dan berbagi. Apa pun, dalam kehidupannya."
Sampai di sini, aku sebenarnya ingin bertanya, "Lalu bagaimana dengan sisi lain kehidupan batin laki-laki? Apa iya dia tidak butuh teman untuk meyakinkannnya dan berbagi?"
Tapi, sayang sambungan telpon sudah terputus.
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
0 komentar:
Post a Comment