Oleh: Nor Ismah*
Suatu ketika saya bertanya kepada seorang sahabat saya, “Ada nggak, Ibu Nyai yang juga seorang penulis?” Sahabat saya itu menjawab, “Ada. Nihayatul Wafiroh.” Tentu saja jawaban itu membuat saya terbahak karena dia menyebut namanya sendiri. Narsis, tapi memang beralasan karena tulisan dia paling tidak pernah dimuat di Kompas dan beberapa media nasional yang lain, dan dia memang seorang Ibu Nyai. Lalu, saya kembali bertanya, “Maksudku yang satu generasi dengan Ahmad Tohari atau Gus Mus?” Kali ini dia balik tertawa, berpikir sejenak, dan lalu menjawab, “Kalau itu sih, kayaknya tidak ada.”
Lalu, iseng-iseng saya coba membuka buku antologi puisi Risalah Badai yang terbit pada tahun 1995. Di antara 12 penulis yang masuk dalam antologi itu, hanya ada 3 penyair perempuan. Sama halnya ketika saya membuka buku Lirik Lereng Merapi yang terbit tahun 2001, dari 32 penyair hanya ada 9 penyair perempuan yang ikut menyumbangkan karya dalam buku antologi puisi itu. Meskipun dua buku tersebut tidak secara khusus memuat puisi tentang pesantren atau para penyair pesantren, paling tidak secara kasatmata bisa menunjukkan bahwa penulis, penyair, dan sastrawan perempuan memang lebih sedikit dibanding laki-laki, lebih-lebih jika perbandingan itu ditarik ke wilayah yang lebih spesifik, yaitu pesantren.
Perempuan Menulis: Beberapa Persoalan
Menulis bukan hal baru bagi pesantren. Kita mengenal nama-nama seperti Kiai Nawawi al-Bantani dan Kiai Jampes yang banyak menulis kitab dan dikaji di pesantren-pesantren hingga saat ini. Pengkajian kitab kuning dengan model maknani juga bisa menjadi contoh sederhana dari tradisi tulis di kalangan santri, baik santri putera maupun santri puteri, mengimbangi tradisi lisan yang bersifat hafalan dan retoris. Namun, tradisi itu belumlah cukup untuk menumbuhsuburkan lahirnya para penulis pesantren, lebih-lebih penulis perempuan.
Menjadi penulis bagi perempuan memang bukan hal yang mudah. Pertama, karena perempuan adalah “produk” dari sebuah budaya yang dalam satu sisi memberikan banyak “keistimewaan” pada laki-laki. Keistimewaan ini membentuk dengan sendirinya model dunia perempuan dan laki-laki secara berbeda berdasarkan budaya. Terutama yang berkaitan dengan wilayah publik. Ada macam-macam aturan budaya bagi jenis perempuan yang pada akhirnya membentuk kecenderungan perempuan yang pasif. Sedangkan laki-laki terbentuk menjadi pribadi yang agresif dan kuat.
Meskipun santri putera dan santri puteri sama-sama harus mematuhi seperangkat peraturan, karena jiwa agresif dan kuat khas laki-laki memungkinkan santri putera untuk melakukan “pemberontakan”, mbeling, demi meluluskan keinginan dan obsesinya. Beberapa kelonggaran untuk akses keluar juga lebih banyak berpihak pada santri putera. Misalnya, untuk wawancara dengan nara sumber, santri putera bisa keluar dari batas wilayah pesantren. Sementara, bagi santri puteri, sebisa mungkin sumber informasi didapat dari nara sumber yang tinggal di wilayah pesantren.
Dalam proses selanjutnya, ketika santri puteri sudah menahbiskan diri sebagai penulis, bukan hal yang mudah juga untuk menjaga kontinuitas kepenulisannya, apalagi jika dia sudah punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Menulis adalah soal waktu dan kebiasaan. Soal kemauan dan keseriusan. Anggapan bahwa menulis adalah hobi dikalahkan oleh tanggung jawab sebagai istri dan ibu, bukan mengompromikan antara keduanya. Kondisi ini sering kali membuat proses kreatif terhambat dan mandeg.
Persoalan ini tentu saja tidak dihadapi oleh penulis laki-laki. Ia mendapat keistimewaan sebagai melaksanakan kewajiban keluarga dengan menulis dan banyak berkiprah ke ranah publik. Di dalam keluarga, begadang sampai malam untuk menulis bukanlah suatu persoalan bagi penulis laki-laki, namun sebaliknya bagi penulis perempuan. Karena budaya melabelkan tugas meninabobokan anak sebagai tanggung jawab perempuan. Praktis tak ada waktu yang tersisa.
Tak heran jika proses kreatif itu kemudian terhenti. Meskipun sebenarnya potensi kepenulisan santri puteri tidaklah kalah dibanding santri putera. Contoh konkret adalah buku kumpulan cerpen Menjadi Bidadari yang diterbitkan Matapena tahun 2008. Di antara 6 penulis dari PP Langitan itu, 4 orang adalah penulis perempuan. Dalam beberapa kali roadshow yang dilakukan oleh Matapena, antisiasme santri puteri juga justru lebih banyak dibanding santri putera, apalagi yang kaitannya dengan penulisan fiksi.
Kedua, persoalan publikasi media yang tidak selalu memihak pada tulisan perempuan. Ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa tulisan-tulisan perempuan adalah karya yang kurang penting, populer dan tidak bertahan lama. Cengeng dan tidak berbobot seperti tulisan laki-laki. Lagi-lagi, karena kanon kritik dibuat dan dirumuskan oleh laki-laki. Atau, bisa jadi sebenarnya banyak karya yang sudah ditulis oleh penulis perempuan pesantren, namun karya itu dibiarkan untuk tidak dipublikasikan sehingga luput dari pengamatan para kritikus ataupun pemerhati sastra dan buku.
Dan, marginalisasi ini tidak hanya disebabkan oleh karena mereka perempuan, tetapi juga karena mereka berasal dari pesantren; satu wilayah yang sementara ini masih marginal. Kecenderungan media atau penerbitan yang pro pasar tentu akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan tulisan tentang remah-remah kehidupan pesantren. Contoh sederhana adalah tulisan tentang pengalaman hidup remaja santri. Ini adalah bagian cerita yang tidak laku dan populer. Berbeda dengan kehidupan remaja yang metropolis dan gaul yang banyak ditulis dan tersebar di pasaran.
Perempuan Menulis: Tak Ada Waktu untuk Menunggu
Tanpa bermaksud membuat separatisme antara penulis laki-laki dan perempuan, perempuan juga mempunyai tanggung jawab untuk menuliskan “sejarah kehidupan”-nya sendiri. Sebuah tulisan dalam bentuk yang sederhana tetap akan menjadi catatan yang merekam peristiwa pada zamannya. Helena Cixous menulis, “I shall speak about women’s writing. Woman must write herself… Woman must put herself into the text—as into the world and into history—by her own.”
Banyak tokoh perempuan pesantren yang berperan besar dalam kondisi krisis. Mereka bisa tampil di baris paling depan, punya inisiatif dan keberanian mengambil resiko, punya sikap tegas, dan keyakinan diri, bermental perintis dan pendobrak. Sebut saja Nyai Solichah A. Wahid Hasyim (alm), ibunda Gus Dur. Namun, tanpa catatan dan tulisan, sejarah ini akan menguap tak terlacak.
Begitupun dengan banyak perubahan yang terjadi di pesantren, terutama pesantren puteri. Ambil contoh kebijakan memakai jilbab tahun 90-an, menggantikan kerudung segitiga untuk berkegiatan di dalam pesantren. Proses perubahan ini tentu tidak muncul dengan tanpa sebab dan keterpengaruhan pada perubahan sosial yang terjadi di luar pesantren. Di sinilah penulis perempuan memiliki andil untuk menuliskan, karena perubahan ini berkaitan erat dengan perempuan.
Menulis bukan sekadar bermain kata dan bahasa, melainkan juga gagasan dan perspektif. Persoalan perempuan akan lebih tajam jika dilihat dengan melibatkan perspektif perempuan. Sudah banyak persoalan dan tema tulisan yang ditulis dengan perspektif laki-laki, terutama soal tafsir ajaran agama. Peran-peran besar Ibu Nyai di dalam pesantren juga terkesan biasa-biasa saja dan sebatas melengkapi karena sejarah yang dituliskan tidak berperspektif perempuan.
Menurut saya, sudah tak ada lagi waktu untuk menunggu lahirnya para penulis perempuan dari pesantren yang menulis tentang perempuan yang berperspektif perempuan. Ibu Nyai yang penulis juga akan sangat berpengaruh di kalangan santri sebagai figure yang bisa memberikan semangat dalam kepenulisan. Selain, memberikan “perspektif lain” dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan potensi santri.
Lahirnya komunitas-komunitas kepenulisan di pesantren bisa menjadi “sekolah alternatif” untuk para santri berproses dalam kepenulisan. Tinggal bagaimana kemudian akses dan kesempatan yang diberikan tidak berpihak sebelah. Penulis perempuan juga bisa mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk mengeksplorasi potensi mereka masing-masing. Kelompok-kelompok itu juga bisa menjadi gerakan yang massif untuk mempublikasikan karya sehingga bisa diperhitungkan di ranah publik.
Dan endingnya adalah dalam satu tahun yang akan datang, saya tidak perlu lagi bertanya pada Nihayatul Wafiroh untuk menemukan nama Ibu Nyai yang penulis. Saya cukup membaca tulisan itu, entah dalam bentuk seperti apa. Yang pasti sebuah catatan, bahwa di antara celah-celah ketertutupan pesantren, ada Ibu Nyai yang menuliskan setiap perubahan dan pergolakan di dalamnya dengan perspektif perempuan.
#dimuat di majalah Kakilangit Pesantren Langitan Tuban edisi April-Mei 2009
mudik ke manoa
-
waktu aku akan balik ke indonesia dari hawaii tahun 2012, aku sudah
berharap kalau suatu saat akan bisa datang lagi ke pulau cantik ini.
harapan itu teru...
5 years ago
2 komentar:
kalau ada persediaan gadis pesantren,mau donk!
menulis sekarang sudah bukan milik gender saja, tapi milik semuaaa nya. Artinya bukan saja kaum lelaki yang bisa menyuarakan inspirasinya, namun wanita lebih jeli menuangkan bait demi bait perasaannya.
Ternyata kemajuan wanita sudah banyak terlihat dari banyak institusi termasuk pesantren ya?
KAlau begitu ibu rumah tangga macam kita juga tak boleh kalah donk? biar banyak belajar secara otodidak, mengambil sumber dari mana saja ..tetap memiliki semangat menulis yang tinggi ya?
Post a Comment