August 02, 2009

Suatu Pagi di Jogja

yang nulis isma di 10:56 AM
Pukul 04.00 dini hari, stasiun Tugu masih sepi. Jogja masih pulas dalam buai mimpi. Udara dingin masih menggigit meskipun aku sudah tak lagi di dalam gerbong ber-AC Argo Lawu. Ini untuk pertama kali aku terlantar sendiri, di pagi buta, di stasiun Tugu. Tak ada sapaan penjaja makanan kecil atau suara berisik para penumpang kereta yang tengah menunggu giliran untuk berangkat. Hanya suara pengeras dan klakson khas stasiun yang memberitahukan kedatangan kereta.

Kutarik travel bag-ku menuju mushola, tempat nyaman yang mungkin bisa aku pakai untuk meluruskan kaki sejenak sambil menunggu subuh. Kulihat seorang perempuan sudah lebih dulu duduk menunggu. Berjilbab, dan tampak sudah rapi. "Sudah dari jam 9 malam, Mbak saya menunggu," jelasnya. Dia mau ke Jakarta. Aku cuma mengangguk-angguk, meski dalam hati kecil ada banyak pertanyaan, aku tak ambil peduli. Perhatianku beralih ke stop kontak listrik di dinding mushola. Hpku mati karena kehabisan batere. Tapi, sayang. Setelah aku coba, stop kontak itu sudah tidak berfungsi.

Perempuan itu beranjak, aku pun ikut beranjak. Subuh masih 20 menitan lagi. Aku melangkah ke depot gudeg di dekat mushala. Berharap pada segelas teh panas untuk mengusir dingin, juga sepiring nasi gudeg dengan peyek udang. Bersyukur si Ibu ternyata juga mengizinkan aku untuk ikut mencharge batere Hp-ku. Sejenak aku pun larut dalam makan pagi diniku.

Sejauh itu memang tak ada yang istimewa, sampai sepasang suami istri datang menyusulku ke depot itu. Aku menghentikan makanku, tertarik mengamati si bapak dan ibu. Mungkin mareka dari Bandung, sebuah kereta ekspres baru saja diumumkan kedatangannya oleh pengeras suara, dan kereta itu dari Bandung. Meski usia si ibu itu jauh di atasku, 60an tahun mungkin, dandanannya seperti ibu-ibu muda kebanyakan. Postur tinggi dan tidak terlalu gemuk. Celana 3/8 warna putih dengan kaos model sekarang, berselimutkan selendang putih di pundaknya. Rambut diikat ke atas, make up cantik dengan warna bibir masih memerah. Sebuah tas cangklong modis tergantung di pundaknya. Sandalnya, berwarna putih dengan hak lebar, terbuat dari kulit berhiaskan bunga-bunga coklat. Bagus sekali. Sementara sang bapak, terlihat lebih tua. Badan tinggi dan gemuk. Berkulit putih dengan rambut rapi yang juga berhiaskan rambut putih. Pakaiannya sederhana, kemeja dan celana yang juga tampak terpakai rapi.

"Saya sudah dua puluh tahun tidak ke Jogja," ucapnya pada ibu penjual gudeg. "Sudah banyak berubah ya." Ia tersenyum. Suaranya pelan, lembut, penuh perasaan.
"Iya Bu. Stasiunnya sudah dipugar jadi seperti sekarang ini," timpal si Ibu gudeg. Dan, bak seorang guide ia menjelaskan beberapa perubahan yang lain.
"Halo, iya. Saya sudah di stasiun nih, Pak," si Bapak ganti yang bersuara, memberitahukan kedatangannya pada penerima telpon genggamnya di seberang.

Makanku tak aku lanjutkan lagi, asyik dengan suasana yang tiba-tiba terbangun karena kedatangan sepasang nenek-kakek itu. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk tetap bisa memahat sebuah kenangan, bahkan bermacam kenangan. Pasti mereka datang ke Jogja dengan bergunung-gunung rindu dan kangen, untuk mengurai kenangan itu. Meniti sedikit demi sedikit, bermula dari stasiun Tugu. Mungkin juga mereka pernah berbulan madu di Hotel Kota dekat stasiun atau Garuda Inna atau Ibis... yang dua puluh tahun lalu belum bernama. Menikmati malioboro di malam hari atau berwisata kuliner di benteng depan kantor pos besar. Dan bisa jadi, masih jauh lebih banyak lagi.

Hmm, dua belas tahun aku di Jogja, dan entah hampir setiap hari aku pun merasakan seperti yang dirasakan oleh sepasang suami istri itu...

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...

Walau kini kau tlah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati...
(Kla Project)

0 komentar:

 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea