Visa? Hmmm, unforgettable.
Dari sejak apply online, sudah dibuat pusing berkeliling-keliling. Bagaimana mengisi form yang berlembar-lembar secara online dengan limit waktu. Mungkin ada lima kali mengisi tapi time out. Ulang lagi, time out lagi. Usulan teman untuk copy paste ada manfaatnya juga untuk mempercepat waktu. Jadi ada empat organ yang bekerja, mulut untuk menelpon karena guidenya tidak di dekatku. Tangan, menekan tuts komputer. Bahu untuk mengapit hape supaya dekat dengan telinga, dan otak yang terus bekerja. Ohya, satu lagi hati yang terus deg-degan seperti alarm yang mengingatkan bahwa waktuku terbatas. Dan, setelah memilih waktu untuk interview dan mencetak semua berkas yang disyaratkan, kerlap-kerlip petunjuk arah langkah menuju visa pun mulai terlihat.
Malam sebelum berangkat ke surabaya, tempat aku harus interview, mata tak boleh tak harus terbuka untuk lembur. Memilah dan menata berkas apa saja yang harus aku bawa. Pada saat inilah manusia tergantung pada lembaran kertas. Satu tak lengkap bisa runyam urusan. Paginya, saat lampu merah hijau di jalan belum resmi berlaku, aku sudah bergerak menuju bandara. Ini juga kali pertamaku naik pesawat ke surabaya. Ini juga kali pertamaku menginjakkan kaki di bandara surabaya. Baru saya mendapat gambaran jelas tentang bis jemputan yang sempat diceritakan salah seorang teman sebelumnya. Bis itu mengantarkan saya dari landasan pacu menuju terminal bandara.
Interview visa sebenarnya mudah saja, karena tinggal datang ke konjen, mendaftar, dan menunggu tiba waktunya sesuai dengan register. Yang susah adalah berdamai dengan hati supaya tidak berdentam-dentam dan kuatir. Bagaimana tidak kuatir kalau aku sendirian, berbahasa inggris, dan mendapati dua orang ibu-ibu ditolak permohonan visanya. Gigiku rasanya beradu atas bawah saking groginya. Beberapa kali harus menarik napas panjang sambil berdoa semoga mulus seperti tol.
Pada 20 Mei 2010 pukul 10.00 pagi. Giliranku dipanggil. "How are you," sapaan pembuka si bule. Diam sejenak, meneliti berkas-berkasku. "Wow, East West Center, nice. So, what are you going to study?" si bule bertanya. "Asian studies," jawabku. "Great." Lalu, mengalirlah cerita dari si bule tentang kenalannya yang seorang profesor dan dia menyebut nama temanku yang sudah lebih dulu lulus dari universitas yang akan aku tuju. Wow ... ini sungguh di luar dugaanku. "You can take your passport on ..." Mendengar kalimat itu seperti mendapati emas segunung di hadapan rumah. Senang dan surprise. Rasanya ingin teriak untuk membalas dendam pada rasa kuatir dan takut yang mengikatku sepagian itu. Akhirnya, huhhhhh huhhhh visaku goal juga.
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
0 komentar:
Post a Comment