Aku memang puteri ibuku, puteri semata wayang malah. Tapi, aku tak mengenal dengan baik bagaimana ibuku. Bukan karena aku tak sayang ibu dan lalu menganggapnya sama seperti bibi atau bahkan tetanggaku, melainkan ibuku adalah seorang puteri di dalam istananya sendiri. Sering kali aku diam-diam memperhatikan ibu, tapi yang aku dapati adalah ibu yang sama seperti dua puluh tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku kelas III SMP. Ibu selalu penuh senyum, meskipun hidup tak selalu tersenyum pada ibu.
Maka, ketika malam ini aku kembali menemukan ibu terisak, aku benar-benar tak punya jawaban apa-apa. "Kamu tahu Nak, kadang kita perlu menangis untuk sekadar menunjukkan bahwa tangisan juga bagian dari kebahagiaan," begitu ibu sering kali menjawab. Dan, aku berpikir ibu hanya butuh waktu untuk menangis, meledakkan muatan air yang sudah tak tertampung lagi di matanya.
Sampai, pada suatu sore yang gelap karena hujan akan segera turun, aku mendapati secarik kertas lusuh bertuliskan pena yang juga sudah mulai memudar. Pada lembaran lusuh yang jatuh tercecer di depan pintu kamar ibu aku menemukan sebaris kalimat... "Semoga pada saatnya, pada senja entah yang kapan, akan ada gerhana yang menyatukan rembulan dan matahari..."
Aku tercekat, hampir tanpa napas. Terkenang dongeng kecil yang sering kali ibu ceritakan tentang rembulan, matahari, dan gerhana menjelang aku tidur. Dan, pasti di akhir setiap dongeng itu pandangan ibu akan menerawang jauh, menembus gorden jendela, dan dua titik air mata menetes di sudut matanya.
mudik ke manoa
-
waktu aku akan balik ke indonesia dari hawaii tahun 2012, aku sudah
berharap kalau suatu saat akan bisa datang lagi ke pulau cantik ini.
harapan itu teru...
5 years ago
2 komentar:
tulisannya pendek amat....
tapi jujur....>>>> mrinding
sukses !!!! (bikin orang mrinding)
tulisan yang laing dong !!!!
boleh gak di link ke http://bapakethufail.wordpress.com
Post a Comment