Berkali-kali kucoba pejamkan mata, tapi rasa kantuk tak juga kunjung menghampiriku. Khalik, Laila, dan Budi tampak asyik terlelap dalam buai mimpi masing-masing. Semilir angin malam menerpa pipiku lewat jendela gerbong yang terbuka. Bunyi khas roda kereta yang beradu dengan rel menjadi musik klasik yang mengiringi perjalanan musafir.
Tepat pukul 19.30 kereta yang kutumpangi meninggalkan Gambir, membawa semua cerita tentang Jakarta. Setelah satu minggu gentayangan di ibukota dengan setumpuk pekerjaan lapangan, rasanya aku semakin mengakui bahwa kota tempatku belajar, Yogyakarta, adalah kota yang paling indah. Aku mendesah, membuang galau yang tiba-tiba begitu menyesak. Terus terang malam ini aku takut merasakan sesuatu karena yang tertinggal hanya kecewa dan putus asa.
“Aku kecewa, Bud,” ucapku tiba-tiba, siang tadi.
“Kenapa?” tanya Budi di tengah laju bus kota yang penuh sesak.
“Kita tak jadi ke Buris.”
Budi cuma tersenyum tipis. Tak berlebihan menanggapi aduanku. Aku juga tidak tahu pasti apakah ia menganggap biasa atau bagaimana aku tak tahu. Budi memang tak pernah tahu kalau aku sebenarnya kangen Buris. Sosok yang sempat membuatku gelisah, memudahkanku untuk termenung ketika ingat. Atau juga sosok yang menjadikanku bersemangat dengan surat balasan pertamanya. Aku benar-benar kangen Buris.
“Satu minggu di sini, tetap ndak ketemu. Sayang sekali,” gumamku pelan, hampir tak terdengar. Mungkin cuma oleh telinga hatiku yang peka akan gores kekecewaan dalam gumamanku. “Aku ingin ketemu Buris,” kali ini pun cuma genderang batinku yang mendengar.
“Rencananya sih abis ini mau main ke tempat Buris, kawan lama,” kata Budi siang itu ketika kami mampir ke rumah saudaranya. “Tapi ya macetnya itu yang nggak ketulungan. Waktunya mepet banget.”
“Oh gitu ya. Tapi, besok masih bisa ketemu di Yogya kan?”
Aku cuma tersenyum kecut mendengar tanya seorang ibu muda di depanku itu. “Dia sudah kerja dan menetap di sini kok, Bu.”
“Ooo,” cuma itu yang dikeluarkan dari bibirnya.
Aku tak menafsirkan banyak dari bunyi O-nya itu. Yang aku jelas tahu bahwa dia membenarkan kalau pertemuan itu sebenarnya tipis sekali, kecuali kalau aku nekat menambah jatah satu hari lagi untuk menemui Buris. Tanpa Khalik, Laila, juga Budi. Aku menelan ludah, pahit dan getir. Padahal aku buta Jakarta, tidak seperti ketiga orang temanku itu. Sedangkan sore ini mereka harus cabut dengan kereta kembali ke Yogya. Apa boleh buat, aku pun tak punya pilihan. Aku hanya bisa duduk terdiam tanpa berontak, dibawa laju kereta bersama gundukan keinginan bertemu Buris.
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
0 komentar:
Post a Comment