“Satu, durian. Dua, durian. Tiga, durian. Empat, durian. Lima, durian. Enam, roti. Tujuh, air mineral. Delapan, makan siang.”
Aku tersenyum membaca sms daftar makanan yang harus aku bawa pulang siang itu. Sms yang berhasil membuatku geleng-geleng gemas sambil tersenyum. Kebetulan urusanku di kantor bisa aku selesaikan lebih cepat, jadi tepat jam makan siang aku sudah bisa keluar. Melintas di kawasan Pondok Indah aku teringat kalau ada seorang perempuan tengah menunggu kedatanganku di rumah dalam keadaan lapar yang akut. Lalu aku berkirim sms ke nomornya, “Mau pesan apa?” Dan, daftar itulah yang diinginkannya.
Kalau dia suka durian, aku memang sudah tahu sejak awal-awal mengenalnya. Tapi, kalau dia sampai menekankan kedoyanannya pada durian dalam lima nomor daftar permintaan, seingatku baru kali ini dia lakukan. Dan, dia sudah dengan sukses membuatku tersenyum. Membuatku gemas dan ingin segera menghujaninya dengan ciuman dan gelitikan.
Kami memang sama maniaknya dengan durian. Di awal-awal pertemuanku dengannya nyaris tak pernah absen dari durian. Semula aku iseng saja, membawakan untuknya durian pada minggu-minggu pertama kencan kami. Sepulang dari kantor aku mampir ke toko buah untuk segelinding durian kecil. Ternyata, tak kuduga. Matanya berbinar sumringah dengan teriakan girang, “Haaa duriaaaan! Mauuuu!” sambil berhambur merebut durian kecil itu dari tanganku. Sebelum kemudian menghujani aku dengan ciuman dan berbisik, “Makasih ya, Sayang.”
Tak cuma buah matangnya saja, apa pun yang mengandung durian perempuanku itu juga suka. Seperti roti, es krim, es jus, tempoyak, wajik, juga terang bulan. Pernah suatu ketika, aku pulang agak telat. Baru beberapa menit membelah jalan Sudirman, ia berkirim sms, “Sayang, mpe mana? Terang bulan durian dong.” Terus terang sampai detik itu aku belum pernah merasakan bagaimana itu terang bulan durian, melihat bentuknya saja belum pernah. Tapi, demi rembulanku itu, apa pun aku usahakan.
Ia hanya mengatakan bahwa aku bisa mendapatkannya di sepanjang jalan blok M. “Aku pernah lihat kok, Mas ada tulisan martabak manis dengan berbagai rasa, salah satunya durian,” jelasnya lewat telepon. Untung aku bawa mobil sendiri, jadi bisa dengan mudah menelusuri jalanan yang ramai padat itu. Tapi, tak semudah yang aku bayangkan ternyata. Terlalu banyak outlet dan depot makanan yang aku jumpai, dan tak ada yang menunjuk pada tulisan martabak manis. Sampai aku putuskan untuk berhenti di depan pasaraya dan bertanya pada tukang parkir. Barulah aku menemukan titik terang tentang lokasi martabak manis itu.
“Enak kan, Mas?” tanyanya sambil tersenyum puas. “Manis, legit, kayak aku ya,” dan dia tertawa senang. Aku cuma mesam-mesem, meski dalam hati mengakui kalau durian dalam bentuknya yang lain, sebagai isi terang bulan ternyata rasanya tetap enak. Baru pertama kali itu aku menikmatinya. Tentu saja bersama perempuan durianku.
Tapi, musim durian tak datang tiap bulan, seperti juga buah-buahan lain yang terikat pada musim. Jika sedang musim, tak harus ke toko buah, di pinggiran jalan di sepanjang trotoar tertentu banyak penjual durian dadakan yang menggelar dagangannya. Biasanya aku akan memborong sampai lima untuk dibuat jus ataupun dimakan apa adanya dalam dua hari. Dan ketika stok habis, istriku itu akan memintaku membawakan lagi durian keesokan harinya. Namun jika sedang tak musim, selain harganya yang mahal, susah juga untuk mendapatkannya kecuali di supermarket tertentu.
Seperti siang itu, meskipun sedang tak musim, aku tergerak untuk mendapatkan durian karena request beruntun dari perempuan durian. Ia sengaja cuti hari itu, dan tengah menunggu kedatanganku di rumah. Tujuanku tentu saja ke supermarket. Ada banyak supermarket di sepanjang jalan menuju pulang, dan aku bisa memasukinya satu per satu. Tapi, lagi-lagi tak semudah seperti yang aku bayangkan. Di supermarket pertama, aku mendapat jawaban, “Tidak ada, Mas,” dari sang pegawai. Di supermarket kedua, “Baru saja habis, Mas. Dibeli sama ibu itu.”
Aku mengeluh kecewa. “Sudah tidak ada lagi, Mbak?” tanyaku berharap.
“Kirimannya belum datang, Mas. Maklum, belum musim jadi harus menunggu lama.”
Dengan terpaksa aku kembali lagi ke mobil, meneruskan perjalanan berburu durian. Membelah Jakarta yang panasnya minta ampun, lapar dan macet. AC di mobil yang belum sempat aku servis menambah gerahku siang itu.
“Bagaimana, Mas? Dapat duriannya?” suara di seberang mengingatkan perburuanku.
“Belum, sayang. Dua supermarket sudah aku masuki.”
“Tapi, masih banyak supermarket yang lain kan?” rajuknya.
Aku mendengus. “Capek nih. Duriannya besok saja ya kalau sudah musim.”
“Kalau musimnya sih sudah biasa lagi, Mas. Justru kalau menikmatinya sekarang, pas bukan musimnya, sensasinya lebih dahsyat!”
“Yeeee, alasan saja deh!”
Dan, perempuan durianku itu tertawa lepas. “Aku tunggu ya, Mas. Demi jabang bayi,” selorohnya sebelum menutup telepon.
Aku tersenyum. Demi jabang bayi, ada-ada saja. Yang ada malah demi perempuan durian karena jelas-jelas dia sedang tidak hamil. Lagi pula, mana ada perempuan hamil boleh makan durian. Karena setahuku, durian menjadi pantangan untuk ibu-ibu hamil. Bisa kontraksi dini katanya.
Setelah berputar-putar, dan hampir putus asa, harapanku kembali muncul ketika aku sudah semakin dekat dengan supermarket yang kelima. Ini supermarket terakhir yang biasanya juga aku lewati. Kalau ternyata tidak ada juga, maka apa boleh buat. Aku terpaksa harus meladeni gurendelan dan wajah mendungnya semalaman. Rembulanku akan menyusut menjadi bulan tanggal muda, bukan purnama lagi.
“Ada durian nggak, Mas?” tanyaku pada pegawai supermarket.
Si pegawai tengak-tengok, “Sebentar, Mas. Saya lihatkan dulu ya.”
Dia berlalu, dan bagiku adalah sebuah penantian yang panjang. Dalam hati aku berharap, perempuanku itu janganlah menelpon dulu sebelum aku mendapat kepastian. Di hadapanku berjajar aneka jenis buah. Kenapa tidak jeruk saja yang dimintanya. Dari supermarket pertama, aku sudah bisa membawakan pulang untuknya. Tapi, dia minta durian, dan sekarang sedang tidak musim. Huh, aku meruntuk kesal dalam hati.
Tapi, tiba-tiba runtukanku berubah jadi sunggingan senyum. Dari arah depan si pegawai datang dengan wajah meyakinkan, “Masih ada, Pak. Tapi, di ujung sana. Silakan.”
Buru-buru aku beranjak, mengikuti arah telunjuk si pegawai. Dan, tepat di pojokan di atas box kayu, bersebelahan dengan bola-bola semangka dan melon, masih ada satu gelinding durian berukuran sedang. Tepat ketika aku menyentuh buah kesukaan istriku itu, datang seorang bapak-bapak sambil tergopoh-gopoh, “Waaah Mas, sisa satu ya?”
Aku mengangguk sambil mengangkat cepat-cepat durian sedang itu. “Dan ini untuk saya. Mari, Pak,” ucapku senang. Rasanya seperti baru saja mendapatkan upah setelah satu tahun bekerja rodi. Rasanya seperti merasakan hujan setelah ribuan tahun kemarau. Lega, puas, dan bahagia. Jujur, aku belum pernah merasakan yang seperti itu. Lagi-lagi karena memenuhi rajukan perempuan durianku.
*****
Laksita, begitu perempuan durianku itu bernama. Berumur 28 tahun ketika aku berumur 38 dan menikahinya lima tahun yang lalu. Sekarang berarti dia sudah 33 tahun. Lahir di Salatiga tapi besar dan tumbuh di Batam. Aku mengenalnya dalam sebuah pelatihan manajemen di Bali yang aku ikuti. Kami sama-sama menjadi peserta yang dikirim oleh kantor masing-masing. Aku dikirim oleh kantorku dari Jakarta, sementara dia dikirim oleh kantornya dari Batam.
Setelah kebersamaan selama satu minggu itu, komunikasi kami tak pernah putus. Entah magnet apa yang membuatku terus saja ingin tahu tentang keadaannya, begitu pun dirinya. Padahal, kami terbentang oleh jarak Jakarta dan Batam. Sampai kemudian lima tahun yang lalu, aku melamarnya sebagai kekasih dan istri dalam hatiku. Kami menikahkah hati kami dalam cinta dan kasih sayang abadi. Tentu saja cuma dengan dan oleh hati karena aku sudah punya istri dan anak. Sementara dia masih single dan tak mau dimadu. Dan, rumah keluarga kami adalah Mayapada, sebuah hotel yang hommy di Jakarta.
Tiga bulan pertama, pertemuan kami nyaris bisa dihitung dengan jari. Hanya ketika aku ada tugas kantor ke Batam ataupun sebaliknya. Namun yang pasti, kami sudah berburu dan menikmati durian bersama. Bahkan, pernah aku dibuat bingung tujuh keliling ketika durian yang tersedia di sebuah supermarket belum ada yang kupasan dan terbungkus stereoform berplastik. Padahal, hotel tempatku menginap di Batam tak memperbolehkan durian masuk kamar. Mau tidak mau, aku dengan susah payah membuka sendiri durian itu dan meminta stereoform ke pegawai supermarket. Memang aman, meski tak urung ketika cek out aku mendapat teguran dan nyaris didenda lima ratus ribu.
Ahh, kenangan-kenangan itu tiba-tiba berseliweran dalam ingatanku sore ini. Lima tahun sejak pernikahan hati kami itu, aku tak pernah bisa untuk tak merindukannya. Satu tahun pertama, kami masih bisa menikmati pertemuan. Apalagi ketika pertengahan tahun dia resmi dipindah ke kantor pusat di Jakarta. Rasa-rasanya, akulah laki-laki paling sempurna mendapatkan kebahagiaan. Hidupku kian berwarna. Aku bahkan bisa menyatakan bahwa aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, bahkan dengan ibu dari anak-anakku, seperti aku jatuh cinta pada Laksita. Sampai kadang aku merasa menyesal kenapa aku melewatkan perempuan durianku itu hingga baru saat itu aku menemukannya.
Dan, memasuki pertengahan tahun kedua, tiba-tiba prahara itu terjadi. Laksita tak mau hanya menjadi istri dalam hatiku saja. Ia ingin menjadi istriku dalam hati dan nyata. Hanya dia seorang, sebagai istri dalam hidupku. “Mas tidak pernah merasakan bagaimana cemburunya aku menjadi yang ketiga setelah istri dan anak-anakmu. Aku memang mendapatkan cinta dan perhatianmu, tapi pada saat-saat kamu bisa membaginya. Tidak setiap saat aku inginkan,” isaknya pelan.
Aku diam, mengakui kalau aku memang tidak setiap hari bisa bersamanya. Meskipun aku pernah bilang, “Hatiku tetap milikmu, cinta dan jiwa ragaku, apalagi malam-malamku juga semakin panjang hanya untukmu,” pada kenyataannya tak bisa ia dapatkan dengan sempurna. Bahkan, sering kali ketika ada keperluan mendadak berkaitan dengan urusan istri atau anak, aku membatalkan jadwal pertemuan keluarga dengan Laksita. Untuk rasa kecewa ini biasanya ia hanya bisa marah, menyangsikan kedalaman cintaku padanya, dan lalu menangis nelangsa.
Tentu saja aku bingung, juga tak bisa mengambil keputusan menghadapi persoalan kami. Apalagi bersamaan dengan itu, datang orang baru dalam kehidupan Laksita dan siap menikahinya secara hati dan nyata. Orang yang menawarkan cinta dan perhatian secara penuh padanya, dan yang pasti tak akan membuatnya cemburu seperti ketika bersamaku. Tentu saja aku tidak terima. Aku cemburu. Aku ingin tetap mempertahankan keluargaku tanpa mau kehilangan perempuan durianku. Keinginan yang jelas-jelas sulit bagi Laksita.
Sejak perbedaan keinginan itu, aku tak lagi menemui perempuan durian. Bahkan ketika dia datang menemuiku di kantor. Teror smsnya tak aku jawab, telpon tak aku angkat. Email bertumpuk-tumpuk yang dikirimkannya juga tak aku baca, tapi langsung aku delete. Satu minggu, dua minggu, aku bersikukuh tak mau berkomunikasi meskipun belahan hatiku itu masih tetap berusaha mengajakku bicara dan ingin menyelesaikannya baik-baik. Sampai, satu bulan, dua bulan, dia tak pantang menyerah. Baru pada bulan yang ketiga, Laksita benar-benar hilang dari jangkauan kelima inderaku, tanpa teror sms, telpon, ataupun email, raib bagai ditelan bumi hingga detik ini.
Hari ini, pada tanggal yang sama, tepat lima tahun aku menikahkan hatiku dengan hati perempuan durianku. Aku sengaja tidak berangkat ke kantor, berdiam diri di rumah, setelah semalaman aku berputar-putar keliling Jakarta sendirian sambil menikmati durian dalam tangis. Melewati Mayapada; rumah keluarga kami, tempat-tempat kami menikmati sore romantis, rumah kontrakan dan kantor perempuanku itu, dan mampir ke depot martabak manis durian.
Rasa tak mau kehilangan dan marah karena aku harus berbagi dengan laki-laki baru itu membuat aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam. Biar waktu yang memutuskan. Namun, toh ternyata aku tetap tak pernah mendapat keputusan dari waktu. Tiba-tiba ada rasa bersalah menyeruak karena sudah membuatnya nelangsa dan meratap-ratap hampir tiga bulanan itu. Sesuatu yang sampai sekarang juga tak habis aku mengerti kenapa aku bisa setega itu. Kenapa aku tidak bisa berbesar hati dan membicarakannya baik-baik. Memahami kecemburuannya dan keinginannya. Kenapa justru pernikahan hati kami harus berakhir dalam diam dan sakit.
“Ini Mas, duriannya,” sebuah suara menyadarkan lamunanku. Seorang perempuan berambut lurus sebahu, lebih tinggi dan gemuk daripada Laksita. Berkulit putih terbungkus setelan rok di bawah lutut dan kaos lengan pendek. Dia istriku, yang datang padaku lebih dulu hingga aku melewatkan Laksita. Sepuluh menit lalu dia baru pulang dari kantor, dan aku memintanya untuk mengambilkan durian kupasan sisa semalam dari kulkas.
“Temani aku makan durian, Dik,” ajakku pelan, sambil bersandar di kursi kecil di depan rumah. Bersarung dan berkaos oblong putih. Menikmati sore menjelang senja.
Perempuan itu tak menjawab, berlalu begitu saja. Entah tak berselera, entah tak dengar, aku tidak tahu. Yang jelas, dia memang sering kali begitu, dan dia bukan perempuan durianku.
Rumah Matapena, 9 Agustus 2009
•Untuk seorang kawan, ceritakan kisahmu yang lain maka akan aku tuliskan...
Aku tersenyum membaca sms daftar makanan yang harus aku bawa pulang siang itu. Sms yang berhasil membuatku geleng-geleng gemas sambil tersenyum. Kebetulan urusanku di kantor bisa aku selesaikan lebih cepat, jadi tepat jam makan siang aku sudah bisa keluar. Melintas di kawasan Pondok Indah aku teringat kalau ada seorang perempuan tengah menunggu kedatanganku di rumah dalam keadaan lapar yang akut. Lalu aku berkirim sms ke nomornya, “Mau pesan apa?” Dan, daftar itulah yang diinginkannya.
Kalau dia suka durian, aku memang sudah tahu sejak awal-awal mengenalnya. Tapi, kalau dia sampai menekankan kedoyanannya pada durian dalam lima nomor daftar permintaan, seingatku baru kali ini dia lakukan. Dan, dia sudah dengan sukses membuatku tersenyum. Membuatku gemas dan ingin segera menghujaninya dengan ciuman dan gelitikan.
Kami memang sama maniaknya dengan durian. Di awal-awal pertemuanku dengannya nyaris tak pernah absen dari durian. Semula aku iseng saja, membawakan untuknya durian pada minggu-minggu pertama kencan kami. Sepulang dari kantor aku mampir ke toko buah untuk segelinding durian kecil. Ternyata, tak kuduga. Matanya berbinar sumringah dengan teriakan girang, “Haaa duriaaaan! Mauuuu!” sambil berhambur merebut durian kecil itu dari tanganku. Sebelum kemudian menghujani aku dengan ciuman dan berbisik, “Makasih ya, Sayang.”
Tak cuma buah matangnya saja, apa pun yang mengandung durian perempuanku itu juga suka. Seperti roti, es krim, es jus, tempoyak, wajik, juga terang bulan. Pernah suatu ketika, aku pulang agak telat. Baru beberapa menit membelah jalan Sudirman, ia berkirim sms, “Sayang, mpe mana? Terang bulan durian dong.” Terus terang sampai detik itu aku belum pernah merasakan bagaimana itu terang bulan durian, melihat bentuknya saja belum pernah. Tapi, demi rembulanku itu, apa pun aku usahakan.
Ia hanya mengatakan bahwa aku bisa mendapatkannya di sepanjang jalan blok M. “Aku pernah lihat kok, Mas ada tulisan martabak manis dengan berbagai rasa, salah satunya durian,” jelasnya lewat telepon. Untung aku bawa mobil sendiri, jadi bisa dengan mudah menelusuri jalanan yang ramai padat itu. Tapi, tak semudah yang aku bayangkan ternyata. Terlalu banyak outlet dan depot makanan yang aku jumpai, dan tak ada yang menunjuk pada tulisan martabak manis. Sampai aku putuskan untuk berhenti di depan pasaraya dan bertanya pada tukang parkir. Barulah aku menemukan titik terang tentang lokasi martabak manis itu.
“Enak kan, Mas?” tanyanya sambil tersenyum puas. “Manis, legit, kayak aku ya,” dan dia tertawa senang. Aku cuma mesam-mesem, meski dalam hati mengakui kalau durian dalam bentuknya yang lain, sebagai isi terang bulan ternyata rasanya tetap enak. Baru pertama kali itu aku menikmatinya. Tentu saja bersama perempuan durianku.
Tapi, musim durian tak datang tiap bulan, seperti juga buah-buahan lain yang terikat pada musim. Jika sedang musim, tak harus ke toko buah, di pinggiran jalan di sepanjang trotoar tertentu banyak penjual durian dadakan yang menggelar dagangannya. Biasanya aku akan memborong sampai lima untuk dibuat jus ataupun dimakan apa adanya dalam dua hari. Dan ketika stok habis, istriku itu akan memintaku membawakan lagi durian keesokan harinya. Namun jika sedang tak musim, selain harganya yang mahal, susah juga untuk mendapatkannya kecuali di supermarket tertentu.
Seperti siang itu, meskipun sedang tak musim, aku tergerak untuk mendapatkan durian karena request beruntun dari perempuan durian. Ia sengaja cuti hari itu, dan tengah menunggu kedatanganku di rumah. Tujuanku tentu saja ke supermarket. Ada banyak supermarket di sepanjang jalan menuju pulang, dan aku bisa memasukinya satu per satu. Tapi, lagi-lagi tak semudah seperti yang aku bayangkan. Di supermarket pertama, aku mendapat jawaban, “Tidak ada, Mas,” dari sang pegawai. Di supermarket kedua, “Baru saja habis, Mas. Dibeli sama ibu itu.”
Aku mengeluh kecewa. “Sudah tidak ada lagi, Mbak?” tanyaku berharap.
“Kirimannya belum datang, Mas. Maklum, belum musim jadi harus menunggu lama.”
Dengan terpaksa aku kembali lagi ke mobil, meneruskan perjalanan berburu durian. Membelah Jakarta yang panasnya minta ampun, lapar dan macet. AC di mobil yang belum sempat aku servis menambah gerahku siang itu.
“Bagaimana, Mas? Dapat duriannya?” suara di seberang mengingatkan perburuanku.
“Belum, sayang. Dua supermarket sudah aku masuki.”
“Tapi, masih banyak supermarket yang lain kan?” rajuknya.
Aku mendengus. “Capek nih. Duriannya besok saja ya kalau sudah musim.”
“Kalau musimnya sih sudah biasa lagi, Mas. Justru kalau menikmatinya sekarang, pas bukan musimnya, sensasinya lebih dahsyat!”
“Yeeee, alasan saja deh!”
Dan, perempuan durianku itu tertawa lepas. “Aku tunggu ya, Mas. Demi jabang bayi,” selorohnya sebelum menutup telepon.
Aku tersenyum. Demi jabang bayi, ada-ada saja. Yang ada malah demi perempuan durian karena jelas-jelas dia sedang tidak hamil. Lagi pula, mana ada perempuan hamil boleh makan durian. Karena setahuku, durian menjadi pantangan untuk ibu-ibu hamil. Bisa kontraksi dini katanya.
Setelah berputar-putar, dan hampir putus asa, harapanku kembali muncul ketika aku sudah semakin dekat dengan supermarket yang kelima. Ini supermarket terakhir yang biasanya juga aku lewati. Kalau ternyata tidak ada juga, maka apa boleh buat. Aku terpaksa harus meladeni gurendelan dan wajah mendungnya semalaman. Rembulanku akan menyusut menjadi bulan tanggal muda, bukan purnama lagi.
“Ada durian nggak, Mas?” tanyaku pada pegawai supermarket.
Si pegawai tengak-tengok, “Sebentar, Mas. Saya lihatkan dulu ya.”
Dia berlalu, dan bagiku adalah sebuah penantian yang panjang. Dalam hati aku berharap, perempuanku itu janganlah menelpon dulu sebelum aku mendapat kepastian. Di hadapanku berjajar aneka jenis buah. Kenapa tidak jeruk saja yang dimintanya. Dari supermarket pertama, aku sudah bisa membawakan pulang untuknya. Tapi, dia minta durian, dan sekarang sedang tidak musim. Huh, aku meruntuk kesal dalam hati.
Tapi, tiba-tiba runtukanku berubah jadi sunggingan senyum. Dari arah depan si pegawai datang dengan wajah meyakinkan, “Masih ada, Pak. Tapi, di ujung sana. Silakan.”
Buru-buru aku beranjak, mengikuti arah telunjuk si pegawai. Dan, tepat di pojokan di atas box kayu, bersebelahan dengan bola-bola semangka dan melon, masih ada satu gelinding durian berukuran sedang. Tepat ketika aku menyentuh buah kesukaan istriku itu, datang seorang bapak-bapak sambil tergopoh-gopoh, “Waaah Mas, sisa satu ya?”
Aku mengangguk sambil mengangkat cepat-cepat durian sedang itu. “Dan ini untuk saya. Mari, Pak,” ucapku senang. Rasanya seperti baru saja mendapatkan upah setelah satu tahun bekerja rodi. Rasanya seperti merasakan hujan setelah ribuan tahun kemarau. Lega, puas, dan bahagia. Jujur, aku belum pernah merasakan yang seperti itu. Lagi-lagi karena memenuhi rajukan perempuan durianku.
*****
Laksita, begitu perempuan durianku itu bernama. Berumur 28 tahun ketika aku berumur 38 dan menikahinya lima tahun yang lalu. Sekarang berarti dia sudah 33 tahun. Lahir di Salatiga tapi besar dan tumbuh di Batam. Aku mengenalnya dalam sebuah pelatihan manajemen di Bali yang aku ikuti. Kami sama-sama menjadi peserta yang dikirim oleh kantor masing-masing. Aku dikirim oleh kantorku dari Jakarta, sementara dia dikirim oleh kantornya dari Batam.
Setelah kebersamaan selama satu minggu itu, komunikasi kami tak pernah putus. Entah magnet apa yang membuatku terus saja ingin tahu tentang keadaannya, begitu pun dirinya. Padahal, kami terbentang oleh jarak Jakarta dan Batam. Sampai kemudian lima tahun yang lalu, aku melamarnya sebagai kekasih dan istri dalam hatiku. Kami menikahkah hati kami dalam cinta dan kasih sayang abadi. Tentu saja cuma dengan dan oleh hati karena aku sudah punya istri dan anak. Sementara dia masih single dan tak mau dimadu. Dan, rumah keluarga kami adalah Mayapada, sebuah hotel yang hommy di Jakarta.
Tiga bulan pertama, pertemuan kami nyaris bisa dihitung dengan jari. Hanya ketika aku ada tugas kantor ke Batam ataupun sebaliknya. Namun yang pasti, kami sudah berburu dan menikmati durian bersama. Bahkan, pernah aku dibuat bingung tujuh keliling ketika durian yang tersedia di sebuah supermarket belum ada yang kupasan dan terbungkus stereoform berplastik. Padahal, hotel tempatku menginap di Batam tak memperbolehkan durian masuk kamar. Mau tidak mau, aku dengan susah payah membuka sendiri durian itu dan meminta stereoform ke pegawai supermarket. Memang aman, meski tak urung ketika cek out aku mendapat teguran dan nyaris didenda lima ratus ribu.
Ahh, kenangan-kenangan itu tiba-tiba berseliweran dalam ingatanku sore ini. Lima tahun sejak pernikahan hati kami itu, aku tak pernah bisa untuk tak merindukannya. Satu tahun pertama, kami masih bisa menikmati pertemuan. Apalagi ketika pertengahan tahun dia resmi dipindah ke kantor pusat di Jakarta. Rasa-rasanya, akulah laki-laki paling sempurna mendapatkan kebahagiaan. Hidupku kian berwarna. Aku bahkan bisa menyatakan bahwa aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, bahkan dengan ibu dari anak-anakku, seperti aku jatuh cinta pada Laksita. Sampai kadang aku merasa menyesal kenapa aku melewatkan perempuan durianku itu hingga baru saat itu aku menemukannya.
Dan, memasuki pertengahan tahun kedua, tiba-tiba prahara itu terjadi. Laksita tak mau hanya menjadi istri dalam hatiku saja. Ia ingin menjadi istriku dalam hati dan nyata. Hanya dia seorang, sebagai istri dalam hidupku. “Mas tidak pernah merasakan bagaimana cemburunya aku menjadi yang ketiga setelah istri dan anak-anakmu. Aku memang mendapatkan cinta dan perhatianmu, tapi pada saat-saat kamu bisa membaginya. Tidak setiap saat aku inginkan,” isaknya pelan.
Aku diam, mengakui kalau aku memang tidak setiap hari bisa bersamanya. Meskipun aku pernah bilang, “Hatiku tetap milikmu, cinta dan jiwa ragaku, apalagi malam-malamku juga semakin panjang hanya untukmu,” pada kenyataannya tak bisa ia dapatkan dengan sempurna. Bahkan, sering kali ketika ada keperluan mendadak berkaitan dengan urusan istri atau anak, aku membatalkan jadwal pertemuan keluarga dengan Laksita. Untuk rasa kecewa ini biasanya ia hanya bisa marah, menyangsikan kedalaman cintaku padanya, dan lalu menangis nelangsa.
Tentu saja aku bingung, juga tak bisa mengambil keputusan menghadapi persoalan kami. Apalagi bersamaan dengan itu, datang orang baru dalam kehidupan Laksita dan siap menikahinya secara hati dan nyata. Orang yang menawarkan cinta dan perhatian secara penuh padanya, dan yang pasti tak akan membuatnya cemburu seperti ketika bersamaku. Tentu saja aku tidak terima. Aku cemburu. Aku ingin tetap mempertahankan keluargaku tanpa mau kehilangan perempuan durianku. Keinginan yang jelas-jelas sulit bagi Laksita.
Sejak perbedaan keinginan itu, aku tak lagi menemui perempuan durian. Bahkan ketika dia datang menemuiku di kantor. Teror smsnya tak aku jawab, telpon tak aku angkat. Email bertumpuk-tumpuk yang dikirimkannya juga tak aku baca, tapi langsung aku delete. Satu minggu, dua minggu, aku bersikukuh tak mau berkomunikasi meskipun belahan hatiku itu masih tetap berusaha mengajakku bicara dan ingin menyelesaikannya baik-baik. Sampai, satu bulan, dua bulan, dia tak pantang menyerah. Baru pada bulan yang ketiga, Laksita benar-benar hilang dari jangkauan kelima inderaku, tanpa teror sms, telpon, ataupun email, raib bagai ditelan bumi hingga detik ini.
Hari ini, pada tanggal yang sama, tepat lima tahun aku menikahkan hatiku dengan hati perempuan durianku. Aku sengaja tidak berangkat ke kantor, berdiam diri di rumah, setelah semalaman aku berputar-putar keliling Jakarta sendirian sambil menikmati durian dalam tangis. Melewati Mayapada; rumah keluarga kami, tempat-tempat kami menikmati sore romantis, rumah kontrakan dan kantor perempuanku itu, dan mampir ke depot martabak manis durian.
Rasa tak mau kehilangan dan marah karena aku harus berbagi dengan laki-laki baru itu membuat aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam. Biar waktu yang memutuskan. Namun, toh ternyata aku tetap tak pernah mendapat keputusan dari waktu. Tiba-tiba ada rasa bersalah menyeruak karena sudah membuatnya nelangsa dan meratap-ratap hampir tiga bulanan itu. Sesuatu yang sampai sekarang juga tak habis aku mengerti kenapa aku bisa setega itu. Kenapa aku tidak bisa berbesar hati dan membicarakannya baik-baik. Memahami kecemburuannya dan keinginannya. Kenapa justru pernikahan hati kami harus berakhir dalam diam dan sakit.
“Ini Mas, duriannya,” sebuah suara menyadarkan lamunanku. Seorang perempuan berambut lurus sebahu, lebih tinggi dan gemuk daripada Laksita. Berkulit putih terbungkus setelan rok di bawah lutut dan kaos lengan pendek. Dia istriku, yang datang padaku lebih dulu hingga aku melewatkan Laksita. Sepuluh menit lalu dia baru pulang dari kantor, dan aku memintanya untuk mengambilkan durian kupasan sisa semalam dari kulkas.
“Temani aku makan durian, Dik,” ajakku pelan, sambil bersandar di kursi kecil di depan rumah. Bersarung dan berkaos oblong putih. Menikmati sore menjelang senja.
Perempuan itu tak menjawab, berlalu begitu saja. Entah tak berselera, entah tak dengar, aku tidak tahu. Yang jelas, dia memang sering kali begitu, dan dia bukan perempuan durianku.
Rumah Matapena, 9 Agustus 2009
•Untuk seorang kawan, ceritakan kisahmu yang lain maka akan aku tuliskan...
dimuat di Oase Kompas online
0 komentar:
Post a Comment