Tak ada yang berubah, masih seperti tujuh tahun yang lalu. Tubuhnya tetap pada postur dan berat badannya. Tidak terlalu tinggi, juga tidak gemuk. Berkacamata, ini yang berubah. Dulu gagangnya berwarna silver, terakhir Liana melihatnya. Ketika berpisah di dalam gerbong kereta ekonomi Jogja-Surabaya. Ia menangis, menggenggam tangan Liana dan menciumnya.
“Hai hai,” mereka tergelak bersama, saling tatap, meneliti perubahan. Sambil mencari posisi duduk di sofa lobi. Tapi, Liana bisa menangkap keterkejutan di wajah laki-laki itu. Mungkin karena Liana tak seperti tujuh tahun lalu, lebih gemuk dan bulat di mana-mana.
“Kamu nggak tahu ya...”
“Enggak.”
“Lho, Fahri emang nggak bilang? Aku terakhir ketemu nggak lama kok.”
Ia menggeleng sambil tertawa.
“Ada acara apa, Lang?” Liana bertanya. Lobi sedang tidak sepi. Lalu lalang orang tampak dengan aktivitas masing-masing.
“Training, baru selesai semalam.” Lalu, ia bercerita tentang pekerjaannya. Tentang tiga tahun yang menunggu, sebelum kemudian ia menikah dan lolos tes untuk pekerjaannya yang sekarang. “Jadi penghulu kan harus nikah dulu. Padahal, sejak kamu tinggalin itu aku nggak minat nikah.”
Kali ini giliran Liana yang tergelak. Gombal terdengar di telinganya.
“Kamu masih menyimpan foto segede gaban dulu itu?”
Ia mengangguk. “Masih, di antara tumpukan berkas pekerjaanku. Ya, biar saja itu menjadi bagian dari bukti sejarah,” jawabnya beromantisme. “Bagaimana denganmu? Sudah jadi apa kamu sekarang?”
“Aku? Sudah jadi direktur,” jawab Liana lalu mengumbar tawa. Dia juga bercerita tentang kegiatannya sekarang, tentang proyek-proyek baru, juga tentang keluarganya. Elang mendengarkan dengan seksama. “Kamu memang selalu rajin, Na.”
“Rajin? Maksudnya?”
“Ya rajin dalam segala hal. Aku selalu kalah. Termasuk soal yang satu itu,” jawabnya lalu tertawa.
Liana yang sempat melihat Elang melempar pandang ke arah perutnya langsung mencibir. “Enak aja. Anak pertamaku sudah besar lagi. Sudah waktunya dapat adik.”
Tiba-tiba hape Liana berdering, sebuah panggilan masuk. “Halo. Oke Mas, sebentar saya ke sana. Yup, pasti. Bye.” Liana menutup pembicaraan, lalu berucap, “Lang, tadi bosku telpon, aku harus ke kantor. Maaf ya, tidak bisa ngobrol lama.”
Elang tersenyum, mengerti. “Aku justru berterima kasih, bisa ketemu aja aku sudah senang kok.”
Liana lalu beranjak, mendekati Elang untuk menerima uluran tangannya, bersalaman.
“Boleh aku pegang babymu, Na?” tanya Elang.
Liana tersenyum, lalu mengangguk. Mungkin hanya satu detik, tangan Elang menyentuh perut buncit Liana, kemudian berucap, “Jaga baik-baik dirimu dan babymu ya.”
Lagi-lagi Liana mengangguk, sebelum berlalu. Elang mengikutinya dari belakang, mengantarnya sampai pintu depan lobi.
Selintas, Liana masih sempat menatap sofa itu, berwarna kuning gading. Hanya sepuluh menit ia duduk di atas sofa itu, membawanya kembali pada kenangan tujuh tahun silam. Waktu memang telah berubah, tapi pada sofa itu ia masih merasakan kedekatan dan ketulusan.
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
0 komentar:
Post a Comment