November 24, 2006


Cerpen: PELANGI

yang nulis Isma Kazee di 8:42 AM


Dia bernama Cia Bun How. Anak laki-laki yang umurnya kurang lebih sama dengan aku, 12 tahun. Rambutnya lurus dan tercukur rapi. Kulitnya putih bersih, seperti susu yang kuminum tiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Matanya kecil sipit, jauh berbeda dengan mataku yang ayah bilang seperti bola pingpong, kalau kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Dari warna kulit dan bentuk mata anak laki-laki itulah, akhirnya teman-teman memanggilnya dengan “Cino”. Karena orang tuanya memang cina.

Aku mengenal Cia Bun How baru seminggu kemarin. Aku adalah anak baru di sekolahnya. Dulu, keluargaku tinggal di rumah eyang di Yogyakarta. Kemudian kami pindah ke rumah baru di Pekalongan....

Selain Cia Bun How, sebenarnya masih banyak teman-teman baruku yang lain. Ada Naning, Kartono, Surip, Rahmat, Indah, dan yang lainnya. Namun semenjak aku berkenalan dengan mereka, hanya Cia Bun How yang kulihat jarang bermain dengan teman-teman yang lain, bahkan tidak pernah. Sepertinya semua teman baruku tidak suka dengan Cia Bun How. Padahal setahuku, dia pendiam dan tidak banyak ulah. Apa hanya karena orang tuanya cina dan berbeda dengan kita?

Pernah suatu ketika aku mendekati Cia Bun How yang sedang termenung sendirian di dalam kelas. Tapi Indah langsung menarik tanganku.
“Kenapa sih, teman-teman tidak suka dengan Cia Bun How?” tanyaku
“Dia cina. Berbeda dengan kita. Orang tua kita bukan cina. Dia bukan teman kita,” jawab Indah sengit.

Terus terang aku tidak suka dengan jawaban itu. Meskipun dia cina tapi dia lahir dan tinggal di Indonesia, bukan? Berarti dia juga teman kita. Karena itu, esok harinya dengan diam-diam aku coba mendekati Cia Bun How, ketika dia sedang membaca di bawah pohon mangga, di kebun sekolah. Hari-hari belakangan ini, aku lebih sering melihat dia membaca di tempat yang rindang itu, daripada duduk termenung melihat teman-teman bermain di lapangan sekolah. Padahal sebenarnya dia bisa juga ikut bermain, bukan?

“Cia Bun How!” panggilku dengan suara rendah.
“Em..eh..kamu, Aida,” ucap Cia Bun How sedikit kaget. Dia tersenyum tipis.
“Kamu kaget ya?”
Dia menggeleng. Kemudian menggeser posisi duduknya agak menepi, memberiku tempat untuk duduk.
“Namamu panjang sekali. Aku jadi bingung mau memanggilmu dengan apa.”
“Di rumah aku biasa dipanggil Bunbun. Di sekolah aku dipanggil cino. Kamu bisa memilih, bukan? Kenapa harus bingung.”
“Kamu tidak marah kalau dipanggil Cino?”
Cia Bun How terdiam sebentar.
“Sebenarnya aku tidak suka. Sudah berkali-kali aku bilang kalau nama panggilanku Bunbun. Tapi teman-teman tidak mau tahu,” dia terdiam lagi. “Kamu tidak ikut bermain dengan teman-teman?”
“Aku ingin menjadi temanmu.”
“Tapi aku cina. Kamu jawa,” ucap Bunbun pelan, seperti menyesal karena dia cina.
“Untung kamu tahu diri, Cino!”

Aku dan Bunbun menoleh bersamaan. Kulihat Rahmat, sang ketua kelas sudah berkacak pinggang di samping kami. Di belakangnya ada Indah, Surip, Kartono, dan teman-teman kelasku yang lain. Mata mereka tajam menatap ke arah kami, menyiratkan rasa benci. Mau berulah apa lagi mereka. Kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Segera kutarik tangan Bunbun dan berdiri tegak menghadang mereka.
“Hei, Aida. Kamu mau melawan kami ya!” ucap Rahmat lantang.
“Aku tidak suka bermusuhan. Aku lebih suka bersahabat dengan siapa pun. Termasuk juga dengan Bunbun. Kalian mau apa!”
“Apa, Bunbun?”
“Ubun-ubun kali,” teriak Surip dan langsung disambut dengan tawa teman-teman yang lain.
“Kukira aku akan mendapatkan teman-teman seperti teman-temanku yang dulu,” ucapku pelan tapi tegas. Kupandangi satu per satu wajah-wajah di depanku. Mereka terdiam. “Di tempat aku sekolah dulu ada yang cina. Tapi kami selalu bermain sama-sama. Kami tidak membeda-bedakan teman. Tidak pandang dia dari suku mana, asalkan mau berbuat baik dan saling menyayangi sesama, pasti kami mau menjadi sahabatnya.
Bunbun menatapku senang, “Baik sekali teman-temanmu itu. Teman-temanmu itu seperti pelangi. Biarpun berbeda tetapi bisa bersatu,” kata anak laki-laki itu sambil menerawang ke langit lepas.
“Kamu benar. Meskipun warna-warna pelangi itu berbeda tapi bisa berbaris rapi. Dan warna-warna itu tidak saling mengganggu satu sama lain. Sehingga tampaklah pelangi yang indah dengan aneka warnanya.”

Aku terdiam sebentar. Menunggu jawaban dari teman-teman baruku. Mereka terdiam. Lalu aku berkata, “Kalau warna-warna pelangi saja bisa bersahabat, kenapa kita tidak bisa? Suku sunda, jawa, juga cina kalau mau bersama-sama saling menyayangi dan tidak bermusuhan, pasti juga akan menjadi indah seperti warna pelangi.”
“Andai saja teman-teman mau bersahabat denganku, aku janji akan selalu berbuat baik dan menyayangi kalian semua,” ucap Bunbun tulus. Aku mengangguk setuju.

Tidak ada suara. Kulihat mereka saling berpandangan. Aku bersorak dalam hati. Sepertinya mereka bisa mengerti kata-kataku. Dan benar juga, satu per satu mereka pun mengangguk. Kemudian berjalan mendekatiku dan Bunbun. Tinggal Rahmat dan dua orang temannya yang diam tek bergerak. Wajah ketiganya merengut kesal, lalu bersama-sama pergi begitu saja. Untuk saat ini mungkin mereka masih benci dengan Bunbun, tapi aku yakin suatu saat mereka pun akan melihat indahnya bersahabat seperti pelangi.

Yogyakarta, 2000


Diikutkan dalam lomba nulis cerita anak bertemakan pluralisme oleh LSPPA Yogyakarta, dan masuk di antara sepuluh penulis terbaik.

0 komentar:

 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea