November 24, 2006


Cerpen: AKU MAU BERBAGI

yang nulis Isma Kazee di 8:57 AM 0 komentar


Ayah dan Ibu sedang berkumpul di ruang tengah bersama dengan Paman Ali dan Bibi Fathimah. Kemarin pagi mereka baru datang dari Jakarta untuk berlibur. Sementara Faris, putera paman dan bibi, sedang asyik bermain bongkar pasang balok di lantai.

“Faris kok bermain sendiri. Mas Hasan di mana?” tanya paman Ali kepada Faris yang sedang asyik bermain. “Di kamar, Yah. Tadi Faris ngajak mas main bareng, tapi mas nggak mau,” jawab Faris.

Ayah Ibu langsung berpandangan, lalu tersenyum. Mereka sudah tahu kenapa Hasan tidak mau bermain dengan Faris. Apalagi kalau bukan karena dia tidak mau merelakan barang-barang mainannya dipakai juga oleh Faris....

Dan memang benar, di dalam kamar Hasan tampak sedang duduk termenung dengan wajah cemberut. Sejak Faris datang bersama kedua orang tuanya, dia jadi senang mengurung seorang diri.

“Hasan lagi ngapain?” Tiba-tiba ayah sudah berdiri di pintu kamar Hasan yang terbuka. “Kenapa tidak keluar, bermain-main dengan Dik Faris?”
“Hasan nggak suka sama Dik Faris. Mainan bongkar pasang balok punya Hasan dipakai sama dia,” jawab Hasan bersungut-sungut.
“Kan dipinjam. Nanti juga dikembalikan. Lagian mainan Hasan yang lainnya masih banyak.” bujuk ayah.

Hasan segera berdiri. Dia benar-benar kesal. “Kenapa sih, Dik Faris tidak bawa mainan sendiri. Jadinya kan tidak usah pakai mainan punya Hasan. Nanti rusak!”
Melihat sikap Hasan yang sewot begitu, ayah mendekatinya sambil berkata pelan: “Ya, sudah. Nanti Hasan tanya sendiri ke Dik Faris. Kebetulan dia sedang main di depan TV. Yuk, kita temui dia,” ajak ayah.
“Nggak mau!” jawab Hasan ketus.

“Baiklah kalau sekarang nggak mau,” kata ayah sambil duduk di tempat tidur. “Tapi besok pagi Hasan jangan sewot begini, ya. Apalagi sama Dik Faris. Dia nggak bermaksud merusak mainan Hasan kok.” Hasan tetap manyun. “Bagaimana kalau suatu saat nanti Hasan yang berkunjung ke tempat Dik Faris? Kan juga bakal pinjam mainan Dik Faris,” tanya ayah kemudian.
“Nggak,” jawab Hasan cepat. “Hasan mau bawa mainan sendiri.”
“Tentu merepotkan. Kita harus bawa persediaan baju, obat-obatan, dan oleh-oleh. Bawa mainan itu butuh tempat tersendiri. Terus nanti dibawa pulang lagi. Bisa-bisa malah rusak di jalan. Sayang kan?” jelas ayah. “Hasan mau mainannya rusak?” tanya ayah. Hasan menggeleng. “Begitu juga dengan Dik Faris. Jadi, untuk sementara pinjam kan nggak apa-apa.”
“Tapi kalau Dik Faris bikin rusak mainan Hasan?” tanya Hasan tiba-tiba.
“Kalau Hasan sudah berbuat baik, mau meminjamkan mainan apalagi mau menemani main bersama, masak Dik Faris akan berbuat jahat, merusak mainan punya Hasan. Tentu tidak, kan?"

Hasan terdiam, tangannya asyik bermain dengan ujung selimut. “Hasan anak baik. Pasti mau dong berbagi dengan Dik Faris. Cuma meminjamkan aja kok. Dik Faris nggak bakalan merampasnya. Kalau Dik Faris mau balik ke jakarta, nanti juga dikembalikan.”
Perlahan ayah berdiri, sambil bertanya, "Nah, sekarang, Hasan mau ikut berkumpul di ruang tengah atau mau tetap di kamar?”
“Hasan mau tidur,” jawab Hasan singkat.

Pagi harinya, Hasan melihat Faris sedang asyik dengan mainan bongkar pasang baloknya. Dengan tekun balok-balok itu disusunnya menjadi seperti gedung bertingkat.
Tapi kemudian, gedung balok yang sudah sempurna itu dibongkarnya kembali. Dia termenung menatap balok-balok yang berserakan. Sepertinya, Faris tidak tahu balok-balok itu harus disusun menjadi apa lagi. Dia mulai bosan. Tapi dia sama sekali tidak membanting-banting atau melempar-lemparkan balok-balok itu, sehingga nantinya akan rusak.

“Mas Hasan punya mainan yang lain nggak?” tanya Faris ketika Hasan berjalan mendekat. Hasan tidak langsung menjawab. Kasihan juga Faris, sejak kemarin dia hanya bermain dengan mainan itu. Karena Hasan memang sengaja menyembunyikan seluruh barang-barang mainannya, agar tidak dipinjam sama Faris.
“Tapi, dik Faris cuma pinjam ya. Nanti harus dikembalikan dan nggak boleh rusak,” kata Hasan mengingatkan.
“Iya. Faris janji.”
“Ayo ikut mas ke gudang, Di sana masih ada banyak mainan,” ajak Hasan sambil menarik tangan Faris.
“Kita mau main apa, Mas,” tanya Faris.
“Kita main perang-perangan aja, ya. Pasti seru!” jawab Hasan. Wajahnya sekarang terlihat bahagia, tidak cemberut lagi.

Tak berapa lama, di halaman belakang, Hasan dan Faris tampak sedang asyik main perang-perangan. Hasan memegang pistol-pistolan dengan topi koboinya. Sementara Faris, tangan kanannya menggenggam sebilah pedang-pedangan dengan perisai di tangan kirinya. “Dor…dor…dor..,” teriak Hasan. “Ciat…ciat…ciat!” teriak Faris. Menyenangkan sekali bukan? Coba kalau Hasan tidak mau berbagi meminjamkan mainanannya ke Faris. Tentu dia hanya bisa cemberut dan tidak sebahagia sekarang.

Yogyakarta, 2002

Untuk buku bergambar Oegi Studio...piye kabare dhab!


Cerpen: PELANGI

yang nulis Isma Kazee di 8:42 AM 0 komentar


Dia bernama Cia Bun How. Anak laki-laki yang umurnya kurang lebih sama dengan aku, 12 tahun. Rambutnya lurus dan tercukur rapi. Kulitnya putih bersih, seperti susu yang kuminum tiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Matanya kecil sipit, jauh berbeda dengan mataku yang ayah bilang seperti bola pingpong, kalau kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Dari warna kulit dan bentuk mata anak laki-laki itulah, akhirnya teman-teman memanggilnya dengan “Cino”. Karena orang tuanya memang cina.

Aku mengenal Cia Bun How baru seminggu kemarin. Aku adalah anak baru di sekolahnya. Dulu, keluargaku tinggal di rumah eyang di Yogyakarta. Kemudian kami pindah ke rumah baru di Pekalongan....

Selain Cia Bun How, sebenarnya masih banyak teman-teman baruku yang lain. Ada Naning, Kartono, Surip, Rahmat, Indah, dan yang lainnya. Namun semenjak aku berkenalan dengan mereka, hanya Cia Bun How yang kulihat jarang bermain dengan teman-teman yang lain, bahkan tidak pernah. Sepertinya semua teman baruku tidak suka dengan Cia Bun How. Padahal setahuku, dia pendiam dan tidak banyak ulah. Apa hanya karena orang tuanya cina dan berbeda dengan kita?

Pernah suatu ketika aku mendekati Cia Bun How yang sedang termenung sendirian di dalam kelas. Tapi Indah langsung menarik tanganku.
“Kenapa sih, teman-teman tidak suka dengan Cia Bun How?” tanyaku
“Dia cina. Berbeda dengan kita. Orang tua kita bukan cina. Dia bukan teman kita,” jawab Indah sengit.

Terus terang aku tidak suka dengan jawaban itu. Meskipun dia cina tapi dia lahir dan tinggal di Indonesia, bukan? Berarti dia juga teman kita. Karena itu, esok harinya dengan diam-diam aku coba mendekati Cia Bun How, ketika dia sedang membaca di bawah pohon mangga, di kebun sekolah. Hari-hari belakangan ini, aku lebih sering melihat dia membaca di tempat yang rindang itu, daripada duduk termenung melihat teman-teman bermain di lapangan sekolah. Padahal sebenarnya dia bisa juga ikut bermain, bukan?

“Cia Bun How!” panggilku dengan suara rendah.
“Em..eh..kamu, Aida,” ucap Cia Bun How sedikit kaget. Dia tersenyum tipis.
“Kamu kaget ya?”
Dia menggeleng. Kemudian menggeser posisi duduknya agak menepi, memberiku tempat untuk duduk.
“Namamu panjang sekali. Aku jadi bingung mau memanggilmu dengan apa.”
“Di rumah aku biasa dipanggil Bunbun. Di sekolah aku dipanggil cino. Kamu bisa memilih, bukan? Kenapa harus bingung.”
“Kamu tidak marah kalau dipanggil Cino?”
Cia Bun How terdiam sebentar.
“Sebenarnya aku tidak suka. Sudah berkali-kali aku bilang kalau nama panggilanku Bunbun. Tapi teman-teman tidak mau tahu,” dia terdiam lagi. “Kamu tidak ikut bermain dengan teman-teman?”
“Aku ingin menjadi temanmu.”
“Tapi aku cina. Kamu jawa,” ucap Bunbun pelan, seperti menyesal karena dia cina.
“Untung kamu tahu diri, Cino!”

Aku dan Bunbun menoleh bersamaan. Kulihat Rahmat, sang ketua kelas sudah berkacak pinggang di samping kami. Di belakangnya ada Indah, Surip, Kartono, dan teman-teman kelasku yang lain. Mata mereka tajam menatap ke arah kami, menyiratkan rasa benci. Mau berulah apa lagi mereka. Kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Segera kutarik tangan Bunbun dan berdiri tegak menghadang mereka.
“Hei, Aida. Kamu mau melawan kami ya!” ucap Rahmat lantang.
“Aku tidak suka bermusuhan. Aku lebih suka bersahabat dengan siapa pun. Termasuk juga dengan Bunbun. Kalian mau apa!”
“Apa, Bunbun?”
“Ubun-ubun kali,” teriak Surip dan langsung disambut dengan tawa teman-teman yang lain.
“Kukira aku akan mendapatkan teman-teman seperti teman-temanku yang dulu,” ucapku pelan tapi tegas. Kupandangi satu per satu wajah-wajah di depanku. Mereka terdiam. “Di tempat aku sekolah dulu ada yang cina. Tapi kami selalu bermain sama-sama. Kami tidak membeda-bedakan teman. Tidak pandang dia dari suku mana, asalkan mau berbuat baik dan saling menyayangi sesama, pasti kami mau menjadi sahabatnya.
Bunbun menatapku senang, “Baik sekali teman-temanmu itu. Teman-temanmu itu seperti pelangi. Biarpun berbeda tetapi bisa bersatu,” kata anak laki-laki itu sambil menerawang ke langit lepas.
“Kamu benar. Meskipun warna-warna pelangi itu berbeda tapi bisa berbaris rapi. Dan warna-warna itu tidak saling mengganggu satu sama lain. Sehingga tampaklah pelangi yang indah dengan aneka warnanya.”

Aku terdiam sebentar. Menunggu jawaban dari teman-teman baruku. Mereka terdiam. Lalu aku berkata, “Kalau warna-warna pelangi saja bisa bersahabat, kenapa kita tidak bisa? Suku sunda, jawa, juga cina kalau mau bersama-sama saling menyayangi dan tidak bermusuhan, pasti juga akan menjadi indah seperti warna pelangi.”
“Andai saja teman-teman mau bersahabat denganku, aku janji akan selalu berbuat baik dan menyayangi kalian semua,” ucap Bunbun tulus. Aku mengangguk setuju.

Tidak ada suara. Kulihat mereka saling berpandangan. Aku bersorak dalam hati. Sepertinya mereka bisa mengerti kata-kataku. Dan benar juga, satu per satu mereka pun mengangguk. Kemudian berjalan mendekatiku dan Bunbun. Tinggal Rahmat dan dua orang temannya yang diam tek bergerak. Wajah ketiganya merengut kesal, lalu bersama-sama pergi begitu saja. Untuk saat ini mungkin mereka masih benci dengan Bunbun, tapi aku yakin suatu saat mereka pun akan melihat indahnya bersahabat seperti pelangi.

Yogyakarta, 2000


Diikutkan dalam lomba nulis cerita anak bertemakan pluralisme oleh LSPPA Yogyakarta, dan masuk di antara sepuluh penulis terbaik.
 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea