November 18, 2014

Hari Sedih

yang nulis isma di 9:12 PM 1 komentar
Rasanya itu brtubi-tubi. Memang sih nasibku ini masih terbilang baik-baik saja ketimbang temenku yang sudah bertahun-tahun nggak bisa ketemu sama anak-anaknya karena dilarang sama mantan suaminya. Aku juga nggak merana berdarah-darah karena cowok gebetanku menikah sama orang lain (alay). Atau stressnya perempuan usia 50 tahun yang diultimatum suruh segera nemu calon mantu sama ortunya. Hadeeh.

Aku cuma lagi sebel karena reimbursement dari panitia conference yang jumlahnya 6 kali gaji bulananku di Matapena belum juga sampai. Kan lumayan ituuuh. Ini bikin galau karena dompetku sekarang sudah kayak peci. Haha. Tapi masih ada Alhamdulillah-nya, aku dapat email kalau akhir minggu depan suruh laporan apakah sudah sampai atau belum. Yang kedua, honor nulis yang memang sih nggak seberapa, baru akan diajukan pembayarannya pekan depan. Alamak. Kirain sudah dari kemarin-kemarin.

Ketiga, merasa tidak dihargai sama tim penilai tulisan dari planet sono noh, yang menurutku sih tidak bisa melihat mana tulisan bagus dan lumayan bagus. Kapok deh ikutan nulis sama planet itu. Tahu gitu, ngapain ya aku bagus-bagusin. Biar saja jelek nggak usah diedit. Eh, tapi kan nama baikku jadi tercoreng yak. Dan ditambah lagi, honornya belum sampai juga. Hadeeeh.

Keempatnya, aku lagi galau menunggu panggilan interview yang tiba-tiba membangunkan rasa traumaku sudah ditolak berkali-kali huhuhu *jedotin kepala ke dinding*

Kelima, setelah menerima response-response yang begimanaaa gitu, aku jadi trauma untuk berbagi informasi ataupun “sok” membimbing sama junior-junior. Ahh, siapa sih aku ini ya. Aku ogah ah, bantu-bantu edit atau sok mengarahkan. Kapok. Trauma sama response yang nggak ngenakin giitu. Sudahlah, let it go. Tidak semua orang ingin belajar. Sama dengan aku, yang sudah merasa sempurna dan punya skill yang jempolan. Hahaha. *pletak*

Rasanya aku pingin protes sama Tuhan, kasih pengalaman sedihnya kok kebanyakan yaaa.

Ah, tapi nggak beneran kok. Maaf ya Tuhan. Maaf, ampuni aku.

November 07, 2014

Komunitas Matapena:
Suara Santri Lewat Tulisan dan Sastra

yang nulis isma di 1:56 PM 4 komentar
Untuk mengisi waktu senggang di kamarnya, Gus Kapsul selalu membaca kitab. Kitab-kitab besar sejenis Ihya’, Fathul Wahab, Iqna’ dan Tafsir Jalalain. Pokoknya yang besar, yang bisa menjadi persembunyian buku teka-teki atau Wiro Sableng yang sedang dinikmatinya. Itu dulu, pas belum jihad fi sabili bola. Sekarang, yang dibacanya adalah tabloid Bola, Soccer, dan sejenisnya. Cuma masalahnya, kalau menyembunyikan buku teka-teki di balik kitab memang gampang. Lalu bagaimana dengan tabloid Bola? Karena yang disembunyikan ternyata lebih besar dari kitab persembunyiannya? (Laskar Hizib, hlm. 154)

Mahbub Jamaluddin dengan apik menuliskan kisah-kisah unik santri dalam salah satu novelnya itu yang terbit pada tahun 2007. Ia memang bukan satu-satunya penulis kisah ala santri, bukan juga penulis pertama yang mengisahkan cerita santri ke dalam novel, cerpen, atau puisi. Jauh sebelum Mahbub sudah ada Jamil Suherman, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Gus Mus, Abidah el-Khaliqi, Faizi Sareyang, dan nama-nama penting lainnya dalam kancah kesastraan Indonesia. Namun, bagi Komunitas Matapena, Mahbub dan para penulis seperti Zaki Zarung, Pijer Sri Laswiji, Shachree M. Daroini, Ma’rifatul Baroroh, dan S. Tiny menjadi gunting pita bagi lahirnya komunitas yang mempromosikan Gerakan Santri Indonesia Menulis ini.

Matapena memulai program roadshow ke pesantren-pesantren pada Desember 2005 berkat dukungan dana dari Penerbit LKiS Yogyakarta. Ia kemudian membuka keanggotaan bagi para santri dan siswa-siswi sekolah di Jawa dan Madura. Dengan bergabung menjadi anggota, mereka mengikuti training kepenulisan yang diadakan oleh Matapena secara cuma-cuma. Training biasanya dilaksanakan selama dua hari dengan materi pengayaan gagasan untuk ditulis meliputi pengalaman santri, nilai-nilai lokal pesantren yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul, kesetaraan gender, serta Living Values Education. Di samping materi tentang teknik kepenulisan dan praktik pembuatan media publikasi seperti majalah dinding, bulletin, atau blog. Saat ini tercatat sekitar 1200 anggota bergabung dengan Komunitas Matapena.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa menulis dan bersastra merupakan kegiatan ekstra yang menarik bagi santri dan remaja. Ini dapat dilihat tidak saja pada kiriman naskah yang banyak diterima oleh Matapena, tetapi juga pada pelaksanaan Liburan Sastra di Pesantren (LSdP) Pertama yang diadakan di Pesantren Kaliopak Yogyakarta tahun 2006. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 100 peserta dari pesantren di Jawa dan Madura. Mereka membayar kontribusi bahkan membiayai sendiri biaya perjalanan dari dan menuju lokasi kegiatan. Sebuah bentuk antusiasme dan kesukarelaan yang patut untuk diapresiasi. Bahkan hingga tahun ini, antusiasme untuk mengikuti LSdP Matapena masih terus mengalir.

Namun, seperti komunitas kepenulisan yang lain, Matapena pun mengalami pasang surut karena pengaruh intensitas para pengurus—dikenal dengan Penjaga Rumah Kreatif Matapena—yang masih bersifat voluntary, pengembangan program, dan pendanaan. Para penjaga Matapena yang kebanyakan adalah mahasiswa tentu memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja 8 jam demi komunitas, demikian juga penjaga yang berstatus guru atau karyawan. Tak jarang kegiatan yang sudah direncanakan tiba-tiba harus digagalkan karena kesibukan. Faktor pendanaan juga lumayan berpengaruh, sehingga ketika pihak donatur tidak lagi memberikan dukungan, gerakan fisik Matapena tidak lagi setrengginas dulu.

Lalu, apakah Komunitas Matapena kini sudah kehilangan kuku taringnya? Ini pertanyaan yang sangat menantang. Hampir seluruh penjaga dan orang-orang yang memiliki kedekatan struktural dan kultural dengan Matapena mengamini bahwa garakan Matapena bukan gerakan main-main. Ini adalah gerakan yang mengusung peradaban pesantren dalam konteks keindonesiaan, dan gerakan untuk menciptakan sejarah pesantren oleh para generasi muda pesantren. Matapena coba mengangkat tulisan unik para santri yang pada masa-masa maraknya chicklit dan teenlit akhir tahun 90an seperti tenggelam dalam lorong-lorong sempit bangunan pesantren. Ia juga menggebrak para santri untuk mencintai pengalamannya dan menuliskannya untuk masyarakat pembaca. Menjadi percaya diri dengan keilmuan dan Islam pesantren dan menyebarkannya melalui sastra dan tulisan.

Meskipun tidak sedikit yang nyinyir mengatakan bahwa pada masanya penulis santri akan kehabisan gagasan untuk dituliskan, atau mengatakan bahwa anggota Komunitas Matapena adalah anak-anak kemarin sore yang tidak penting untuk diperhitungkan. Mungkin kita lupa bahwa kehidupan dunia sudah jauh lebih dulu dituliskan dalam sastra sejak berabad-abad lampau, dan tak juga habis untuk diartikulasikan. Kita mungkin juga abai dengan paling tidak 30 novel pop pesantren yang mendeskirpsikan persinggungan antara pesantren dan issue-issue modernism, misalnya soal kesetaraan perempuan, salah satu contohnya adalah novel Jadilah Purnamaku Ning, yang ditulis oleh Khilma Anis. Karya fiksi juga memiliki kekuatan sebagai media pembelajaran bagi santri dan remaja pada umumnya, misalnya belajar tentang pubertas dan fikih seperti yang dideskripsikan Isma Kazee dalam novel Jerawat Santri.

Jadi, barangkali tidak ada alasan yang lebih kuat lagi bagi Komunitas Matapena untuk tetap bergerak dan membangun masyarakat santri dengan beberapa konsekuensi pengembangan yang harus dilakukan. Program dan kegiatan yang selama ini belum terlihat kejelasan outputnya barangkali perlu direformulasi. Penggunaan media untuk persebaran produk dan promosi komunitas juga penting untuk di-update dan dievaluasi keterjangkauan persebarannya, dan barangkali bisa dikembangkan untuk merawat dan memenej para anggota yang sudah berjumlah ribuan. Terakhir yang tak kalah penting adalah bagaimana melakukan kaderisasi dan capacity building bagi Penjaga Rumah Kreatif Matapena, serta menjaga spirit kesukarelaan dan semangat melahirkan inisiatif-inisiatif untuk memajukan komunitas (Isma KZ).

Tentang Ulama Perempuan Rahima

yang nulis isma di 1:28 PM 0 komentar
Kata Pengantar Editor
Buku Profil Ulama Perempuan Rahima

Sebagaimana istilah Ulama Perempuan yang masih terdengar asing, buku tetang profil dan best practice para ulama perempuan juga masih jarang dijumpai. Setidaknya saya baru mambaca satu buku dengan judul besar Ulama Perempuan Indonesia yang dikompilasi oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta, terbitan tahun 2002. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hanya sedikit perempuan muslim yang memiliki kapabilitas keulamaan dan melakukan pemberdayaan masyarakat, melainkan karena cerita panjang marginalisasi peran dan luputnya peran penting dan prestasi perempuan dalam catatan-catatan sejarah peradaban.

Dalam sebuah forum bertajuk “Ulama Perempuan dalam Wacana Islam: Sketsa Sejarah yang Masih gelap” yang digelar oleh P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) pada 25 Juni 1996 silam, Azyumardi Azra menyampaikan bahwa sejarah tentang ulama perempuan memang belum menjadi suatu sejarah yang terang benderang. Ia melihat ada dua pertanyaan yang bisa diajukan, yaitu terkait pendidikan keulamaan untuk perempuan dan penulisan tentang perempuan. Selama ini, kecenderungannya laki-laki masih mendominasi tradisi keulamaan atau keilmuan. Meskipun dalam tataran konsep ideal Islam, dinyatakan bahwa menuntut ilmu menjadi kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, tidak demikian dalam tataran pelaksanaan. Alhasil, kesempatan yang diperoleh perempuan dalam pendidikan Islam untuk sampai pada derajat keulamaan masih belum memenuhi.

Buku berjudul Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima yang ada di tangan pembaca ini adalah salah satu usaha untuk menjawab dua pertanyaan di atas. Rahima memfasilitasi peningkatan kapasitas keilmuan perempuan untuk membangun tradisi keulamaan di kalangan perempuan, dan menuliskan profil-profil perempuan kader ulama dalam sebuah buku untuk mengisi kekosongan referensi tentang ulama perempuan di Indonesia. Buku ini memuat 40 profil kader ulama perempuan yang pengikuti program Pendidikan Ulama Perempuan dan program Pendidikan Tokoh Agama yang dilakukan oleh Rahima. Bersumber dari data yang didapat melalui interview langsung dengan para kader, tulisan-tulisan dalam buku ini terbaca jujur, lugas, dan dekat dengan pengalaman perempuan.

Membaca dan mengedit 40 profil ulama perempuan merupakan kesempatan yang sangat berharga sekaligus menantang. Saya mengedit tulisan jadi yang ditulis oleh empat orang penulis dari Rahima. Profil-profil perempuan hebat dalam buku ini ditulis dalam bentuk feature yang bercerita tentang kehidupan dan proses yang mengantar mereka hingga menjadi seseorang di tengah-tengah komunitas dan masyarakat mereka. Tantangan pertama adalah menjaga keunikan setiap tulisan sekaligus menarik benang merah yang sama di antara tulisan-tulisan tersebut sesuai dengan kisi-kisi yang diharapkan oleh Rahima. Sementara pada saat yang sama profil-profil tersebut bukan tulisan individual.

Kedua, membutuhkan sense tersendiri untuk menghasilkan tulisan feature yang hidup dan terbaca enak. Saya memahami betul tantangan yang dihadapi oleh para penulis. Mereka harus meramu hasil interview, mengubah bahasa lisan ke dalam bahasa tulis, memutar otak untuk membuat tulisan profil yang tidak monoton antara satu dengan yang lain, meskipun draft pertanyaan interviewnya sama. Apalagi jika kegiatan yang dilakukan oleh para kader ulama perempuan hampir berdekatan sama satu sama lain. Para penulis harus menyiasati agar setiap tulisan bisa terbaca unik dan berbeda. Beberapa tulisan tampak sudah kaya, mencatat semua hasil pandangan mata, gerak-gerik responden, setting waktu dan tempat, dan hal-hal kecil yang memperkuat pemindahan realitas ke dalam tulisan, seperti tulisan berjudul “Iroh Suhiroh: Mendorong Perempuan Untuk Mandiri secara Ekonomi” dan “Afwah Mumtazah: Pendiri Madrasah Takhasus lil Banat”.

Untuk menghadirkan sense tersebut, saya juga membaca kembali hasil transcript interview, terutama untuk beberapa tulisan yang perlu pembenahan, hubungan antarkalimat yang belum selaras, atau elaborasi yang perlu penajaman. Sebagai pembaca kritis, saya kadang menjumpai bagian-bagian yang sebenarnya penting untuk dieksplore lebih mendalam namun bahan eksplorasinya tidak saya temukan di dalam transkrip wawancara. Meskipun demikian, kekurangan ini tidak mempengaruhi kekayaan pengalaman-pengalaman para tokoh. Saya banyak menemukan kisah perjuangan yang menarik dari tulisan-tulisan tersebut. Misalnya dalam “Umi Hanik: Bu Nyai Lawan Debat yang Tangguh”. Sebagai pendatang ia membangun komunitas pengajian Al-Qur’annya dari nol, hingga berkembang dengan ribuan jamaah. Ia menyebarkan pesan-pesan keadilan dan penguatan untuk potensi-potensi perempuan dalam setiap kesempatan. Ia bahkan berani berdebat dengan modin dan mengajukan diri ikut bahtsul masail yang sering didominasi oleh laki-laki.

Melalui cerita-cerita yang membentang dari Jawa Barat sampai Madura, saya menemukan bahwa setiap perempuan biasa berstrategi untuk melapangkan jalan pencapaian tujuan, dan mereka tentu sangat lihai memainkannya. Dalam “Nurul Sugiyati: Mendengar Suara Kekerasan” misalnya, kader ulama perempuan yang sering mendampingi korban kekerasan ini menuturkan strategi-strategi yang ia gunakan untuk pendidikan adil gender. Ia melakukan komunikasi di tingkat keluarga, komunikasi dengan tetangga di sekitar ligkungannya lewat pertemuan informal, seperti arisan dan pengajian, dan para siswa-siswi di tempat kerjanya, yaitu sekolah. Ia juga berjejaring dan membangun solidaritas bersama di kalangan perempuan serta memperkuat partisipasi politik perempuan dan melakukan advokasi kebijakan.

Buku ini merupakan catatan positif bagi perkembangan kiprah perempuan muslim di Indonesia dalam konteks keagamaan, dan oleh karena itu penting untuk diapresiasi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, “ulama perempuan” masih sebatas gagasan yang mengawang, seiring dengan banyaknya perempuan yang memperdalam pendidikan keulamaan dan adanya pengakuan atas kemampuannya, ia masih bisa untuk diusahakan. Para kader ulama perempuan Rahima mengaku mendapatkan nilai tambah melalui PUP yang mereka ikuti, dari semakin tumbuhnya rasa percaya diri, penajaman perspektif, penebalan keilmuan, sampai pengorganisasian dan advokasi. Kehadiran dan catatan-catatan tentang mereka adalah harapan bagi terangnya sejarah Ulama Perempuan di Indonesia.



Selamat membaca!

Yogyakarta, 18 Agustus 2014
 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea