Perempuan tua itu berkali-kali melihat ke arah pintu. Pada pintu itu terdapat gorden yang berkibar ditiup angin, seperti gerak panari yang meliuk-liuk di altar pementasan. Gorden itu juga akan bergerak jika ada seseorang yang melewatinya karena dia akan menyibakkannya, membuat jalan untuk masuk. Tapi kali ini bukan tangan seseorang yang sedang menggerakkannya, melainkan angin yang datang kapan saja, setiap saat, dan setiap waktu pun bisa jadi, bahkan pada saat perempuan itu tak menginginkannya.
Sekarang sudah mulai memasuki musim penghujan. Langit lebih sering mendung daripada tidak. Jika mendung datang pada pagi hari maka siangnya hujan akan turun. Jika ia datang pada siang hari, sore harinya hujan pun akan turun. Begitulah biasanya. Dan seperti biasanya juga angin akan memberi tanda dengan hembusan kuatnya, lalu seisi dunia yang bermassa jenis lebih ringan akan bergerak-gerak, bahkan melayang-layang dalam permainannya. Pada saat itulah hujan akan turun. Yah, biasanya karena di dunia ini memungkinkan kejadian di luar kebiasaan.
Perempuan tua itu masih tetap melihat ke arah pintu. Malah sekarang dia tak lagi melihat ke arah lain selain pintu. Tak biasanya dia seperti itu. Karena pada siang hari sesiang hari ini, dia akan disibukkan dengan pekerjaan dapur, memasak atau mengambil jemuran pakaian di samping rumahnya yang sudah kering. Tapi, siang ini dia tak bergerak seinci pun. Tatapannya lurus, tak berkedip. Setiap kali gorden bergerak-gerak dan tersibak, dia akan memiringkan kepalanya, mencari tahu apa atau siapakah yang menggerakkanya. Ada pancaran cemas penuh harap dari tatapannya itu, seolah jika gorden itu bergerak dengan sendirinya tanpa sesuatu apa pun, pasti akan terjadi sesuatu, atau bahkan sesuatu itu benar telah terjadi.
Lima hari yang lalu, seorang laki-laki asing datang bertamu ke rumah ini. Pakaiannya agak kumal dan lusuh, rambutnya tak tersisir rapi, dan sepatunya tampak berdebu tak pernah tersentuh tangan.
“Ibu harus bersabar dan jangan terlalu khawatir, begitu ia berpesan. Dia baik-baik saja,” kata laki-laki itu.
“Di mana dia sekarang?”
“Saya tidak diizinkan untuk memberitahu ibu di mana dia sekarang. Bukan kenapa-napa, Bu. Ini semua demi keamanan anak ibu saja. Pada saatnya nanti dia tentu tidak akan merahasiakan ini semua ke ibu, percayalah.”
Perempuan tua itu menarik napas panjang. Lalu berkata dengan lirih: “Apa sebenarnya yang sudah dia lakukan, dan apa sebenarnya yang sedang dia lakukan?”
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan perempuan itu, tidak juga laki-laki dekil di depannya itu, sampai saat ini. Pertanyaan itu terus saja bergelanyut di benaknya. Tetapi, sebelum laki-laki itu akhirnya mohon pamit, dia sempat menyampaikan pesan bahwa besok lusa anaknya akan menemuinya di rumah ini, melewati gorden pintu yang selalu bergerak setiap harinya, lalu menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Hari itulah yang sangat ditunggu-tunggunya, dari sejak berbaliknya punggung laki-laki pembawa berita itu, bahkan mungkin sampai kapan pun saat anaknya benar-benar datang.
Sayangnya, hari ini adalah hari keenam dari hari kedatangan kurir anaknya. Berarti seharusnya anaknya sudah menemuinya tiga hari yang lalu. Tetapi, hari ini dia masih terus melihat ke arah pintu, memiringkan kepala untuk sekadar meyakinkan akan kehadiran seseorang, atau membengkalaikan semua pekerjaan rumahnya. Karena anaknya memang tidak benar-benar datang tiga hari yang lalu. Dan hari ini adalah hari yang ketiga dia menunggu, bersama gorden pintu itu.
Perempuan tua itu menerawang, terbayanglah wajah anaknya yang persegi dan khas laki-laki. Anaknya memang berjenis kelamin laki-laki, dan wajah kelaki-lakiannya sudah tampak sejak dia berusia satu tahun, yaitu alisnya yang tebal, ujungnya hampir saling bertemu, matanya terbenam cekung ke dalam, hidungnya besar dan mancung, serta tulang pipinya yang kuat terlihat jelas. Anaknya itu jarang sekali berambut panjang. Kalaupun berambut panjang, itu tak bisa menutupi wajah maskulinnya. Bahkan justru menambah ciri maskulinnya.
Pada usia lima tahun, wajah itu tak begitu banyak mengalami perubahan, hanya kulitnya menjadi agak kecoklatan karena kegemarannya bermain di lapangan, seperti umumnya anak laki-laki di lingkungannya, dan sinar matahari tak pernah berhenti mewarnai kulit mukanya, sampai ia dan teman-temannya beranjak untuk pulang. Di rumah ia akan ngaso, memberi kebebasan pada angin untuk mengeringkan keringat di kening dan sekujur tubuhnya. Setelah itu, ia akan menyambar handuk dan jebar-jebur mandi dengan air sumur.
“Bagaimana bermainnya hari ini?” tanya perempuan tua itu
“Biasa, Bu,” jawabnya sambil berlalu pergi, berangkat mengaji di mushalla dekat rumah
Biasa. Kata itu kembali terngiang di telinga perempuan tua itu. Kata itu sering diucapkan anaknya itu, dan lebih sering bisa mewakili setiap ekspresinya. Ketika hari terang dan ia bisa bermain, ia mengatakan itu biasa. Ketika hari hujan dan ia tak bisa bermain di bawah terik matahari, ia pun akan berekspresi dengan biasa. Atau ketika di usianya yang lima belas tahuan ayahnya meninggal, ia pun biasa-biasa saja.
Dan akhirnya menjadi biasa juga ketika ia harus merantau ke luar kota, mencari penghidupan yang lain di usianya yang memasuki tujuh belas tahun. Dengan pengalaman sekolahnya sampai tingkat SLTP dan saat-saat bermainnya dengan teman-temannya, ia pun meninggalkan ibunya hanya dengan pesan bahwa ia akan merantau ke Jakarta, bekerja dengan pekerjaan apa pun.
Tiga bulan tidak ada kabar berita dari anak semata wayangnya itu. Baru pada bulan keempat, tiba-tiba gorden pintunya tersibak, dan muncullah seraut wajah itu. Tapi tak seperti biasanya, berlembar-lembar cerita mengalir dari bibirnya bahwa ia bekerja pada sebuah rumah makan milik orang Timur Tengah, entah tepatnya di mana perempuan tua itu telah melupakannya. Di samping mendapat gaji perbulannya, ia juga mendapatkan fasilitas tempat tinggal bersama keempat teman-temannya. Dan waktu itu anaknya meninggalkan uang satu juta untuknya.
Perlahan perempuan tua itu beranjak berdiri. Pandangannya masih tetap lurus menembus gorden yang bergoyang tertiup angin. Tangan kanannya mengusap-usap ujung sandaran kursi yang baru saja didudukinya. Masih terasa benar bekas gesekan kulit tangannya dengan uang kertas lima puluhan ribu sejumlah satu juta yang diberikan anaknya waktu itu. Meski setelah itu, anaknya tak pernah lagi mengunjunginya dan memberinya uang sebanyak itu, hanya jumlah sekadarnya yang ia kirim lewat pos tanpa alamat pengirim satu bulan sekali, dan meski waktu tiga belas tahun telah menenggelamkan kenangan itu.
Dan tiba-tiba pada suatu hari, Nining, tetangga sebelah yang menjadi PNS dan biasa mengikuti berita lewat TV dan koran, datang tergopoh-gopoh menemuinya. Tangannya menenteng korang terbitan hari itu.
“Mbok, Lihat! Ini gambarnya Mas Kholid, kan? Dia jadi buronan, Mbok!”
Tiba-tiba tubuh perempuan itu menggigil, bibirnya pucat, dan tangannya gemetar, meski dia tak tahu pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi, demi mendengar istilah buronan, bulu kuduknya jadi merinding. Dalam benaknya terlintas bayangan bagaimana anaknya yang menjadi buronan itu berlarian dikejar-kejar polisi dengan pistol di tangan sambil ketakutan. Sesekali ia terjatuh, tersandung batu, atau terjebak tanah yang berlubang. Lalu ia buru-buru berdiri lagi. Peluh membasahi kening dan sekujur tubuhnya. Sementara dia, ibunya, hanya bisa melinangkan air mata di pipinya.
Perempuan tua itu jatuh terduduk menerima koran dari tetangganya. Bagaimana bisa gambar itu adalah anaknya. Sebuah sketsa wajah yang persegi dengan alisnya yang tebal dan ujungnya hampir saling bertemu, matanya terbenam cekung ke dalam, hidungnya yang besar dan mancung, serta tulang pipinya yang kuat, lengkap pula dengan tulisan: Kholid bin Walid Menjadi Buronan Pihak Berwajib. Bagaimana bisa tiba-tiba anaknya menjadi buronan? Anaknya yang diketahuinya tak pernah terlibat tindakan kriminal, dan anak yang kabar terakhirnya memberitakan bahwa ia bekerja di sebuah rumah makan bersama keempat teman-temannya?
“Memangnya dia kenapa?” tanyanya polos.
“Mbok tidak pernah mengikuti berita, ya. Dia kan sudah jadi tersangka, Mbok. Tersangka dalam kasus pengeboman di Cempaka Mall satu bulan yang lalu.”
Begitu bodohnyakah dirinya sehingga dia tidak tahu-menahu siapa dan bagaimana anak laki-lakinya selama ini. Waktu yang begitu lama memisahkan dirinya dengan anaknya itu sepertinya telah merubah segalanya. Sementara gambaran dalam benaknya tentang anak laki-lakinya itu tak pernah segaris pun berubah. Kholid baginya tetaplah anak biasa yang selalu biasa untuk tiap ekspresinya. Dia tak biasa untuk meninggalkan bermain, pergi ke sekolah, atau berangkat mengaji bersama teman-temannya. Dia percaya penuh pada suara-suara dalam pikirannya itu. Anaknya pergi hanya untuk sebuah pekerjaan, dan suatu saat nanti akan pulang kembali melewati gorden pintu rumahnya, meski waktu telah membawanya sejauh apa pun.
Perempuan tua itu kini berjalan mondar-mandir dari tempatnya semula menuju pintu. Ada kilatan air menggenang di pelupuk matanya. Tak pernah sekalipun perempuan itu menemukan jawaban, dia terus gelisah. Dan memang setelah itu, hidup baginya hanya menjadi sebatas kegelisahan untuk sebab yang dia sendiri tak tahu. Beberapa orang polisi mulai mendatangi rumahnya, bertanya ini dan itu tentang anaknya, meminta keterangan dari A sampai Z yang menyangkut riwayat anaknya. Dia pun harus bercerita banyak tentang anaknya dan sering kali dia pun harus menggeleng-geleng untuk meyakinkan bahwa dia tak tahu sama sekali mengenai apa yang sudah dilakukan anaknya karena dia memang benar tidak tahu apa pun.
Dan sekarang dia sudah benar-benar berdiri di pintu. Pelan-pelan tangannya menggulung gorden yang menghalangi jalan masuk, lalu mengikatnya ke sisi pintu sebelah kanan. Dia ingin meyakinkan anaknya akan datang dan melewati pintu tanpa terhalangi gorden. Kemudian dia akan memeluknya erat-erat dan bertanya dengan nada seorang ibu: “Apa sebenarnya yang telah kau lakukan, Nak…?”
Tapi, hampir lima menit dia berdiri, tak ada sesuatu pun yang terjadi. Malah rambutnya yang mulai memutih tampak melayang-layang ditiup angin, menebarkan hawa dingin, dan menyisakan gigilan di tubuhnya yang kurus. Seandainya anaknya seperti angin, dia tak perlu berharap-harap cemas seperti ini. Dia bisa bertanya tentang apa pun kapan pun dia mau karena anaknya akan lebih sering ada untuk menemuinya.
“Aku hanya perempuan tua yang tak tahu apa pun tentang permainan di luar. Aku hanya tahu permainan angin pada gorden ini.” Itu yang akan dikatakannya kemudian.
Sementara perempuan tua itu menunggu bersama lamunannya, pada bagian dari rumah tetangganya, sebuah berita dibacakan di sebuah pesawat TV:
Dua tim hebat dari Polda Metro Jaya berhasil meringkus Kholid bin Walid di Merak. Sementara Petugas gabungan polisi dari beberapa wilayah lainnya masih menyisir sejumlah lokasi untuk memburu Asmui, laki-laki berpakaian dekil yang menjadi kaki tangannya.
Salakan Baru, 23 September 2003
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
1 komentar:
Mbak, teknik sampean nulis cerita yang renyah kayak gini gimana sih?
http://pencangkul.blogspot.com/2008/01/dari-secangkir-kopi.html
Post a Comment