“Ibu, matahalinya sudah telbit,”anakku mengingatkan. Selalu, setiap kali aku menjanjikan kalau kita akan pergi setelah matahari terbit. Begitu terlihat hari mulai terang, ia sudah yakin kalau janji ibunya harus ditepati. Ia belum mengerti kalau matahari terbit harus menyesuaikan hitungan jam untuk memulai aktivitas. Lebih-lebih jika kaitannya dengan orang banyak. Ia hanya hafal jawaban bahwa matahari terbit setiap pagi dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Lalu, ia akan sibuk memprotes ibunya yang tak juga kunjung selesai berbenah. “Ayo Bu, sudah telbit matahalinya..”
Matahari, sebagai penanda waktu siang untuk mulai beraktivitas. Sementara bulan, yang cahayanya lebih redup, juga menandai waktu sudah pekat malam. “Itu bulan sabit,”sebut anakku sekali waktu ketika aku mengajaknya menatap langit hitam berhias manik-manik bintang. Ia masih agak susah untuk mengingat bulan purnama. Mungkin karena yang sering ia lihat adalah bulan sabit daripada purnama.
Hanya itu yang anakku tahu tentang matahari dan rembulan. Ia tidak tahu bahwa matahari dan rembulan bersatu cahaya. Meskipun tidak terbit pada saat dan waktu yang bersamaan. Mereka terbit di tempat yang berbeda, menandai datangnya waktu yg juga berbeda, siang dan malam. Ia juga tidak tahu, tentang cinta antara matahari dan rembulan. Rindu antara matahari dan rembulan. Jauh tapi dekat. Tidak dekat tapi lekat. Matahari dan rembulan.
Tapi, ada saat di mana matahari dan rembulan bersama dalam satu kedekatan garis lurus. Berbagi cahaya meski terhalang bumi. Tentu saja anakku juga tidak tahu bahwa gelapnya gerhana adalah pautan cinta dan rindu antara matahari dan rembulan. Tak ada pekat sebenarnya, hanya keheningan dalam kenyamanan. Meski, bagi makhluk lain adalah kepekatan... Tidak untuk matahari dan rembulan...
mudik ke manoa
-
waktu aku akan balik ke indonesia dari hawaii tahun 2012, aku sudah
berharap kalau suatu saat akan bisa datang lagi ke pulau cantik ini.
harapan itu teru...
5 years ago
0 komentar:
Post a Comment