December 31, 2008

Tahun Baru

yang nulis isma di 1:08 PM 0 komentar
Pada sebuah papan putih di kantorku. Di ujung bagian atas, tempat paling mencuri perhatian. Tertempel selembar kertas bergaris, direkatkan oleh isolasi. Sebuah tulisan tangan, rapi dan terbaca jelas.

Nien, aku cuti untuk satu minggu ke depan. Sekadar membagi waktu untuk bertanya lebih dekat tentang kabar dan keadaan keluargaku, juga ketiga anakku. Baik-baik ya di kantor.

Aku menghela napas. Sepi. Tapi, juga mengerti. Siapa pun, tak terkecuali atasanku itu, butuh waktu khusus untuk berteduh bersama keluarga. Apalagi momen libur, tahun baru. Dan, aku sebagai bawahan yang baik dan setia, semestinya memahami itu dan menikmati sebaik-baiknya bertahun baru dengan rutinitasku. Sampai saatnya nanti, giliranku untuk juga berteduh.

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1430 H.
Selamat Tahun Baru Masehi 2009

Semoga teduh itu membawa semangat dan capaian baru di tahun mendatang. Allah memberkahi setiap langkah kita. Amiin.

December 19, 2008

Salah

yang nulis isma di 10:10 AM 1 komentar
Tak perlu salahkanku karena aku memang salah
Salah tak perlu dipersalahkan
Apalagi jika aku sudah merasa bersalah

Tak perlu cemburui aku karena aku sudah cemburu
Apa-apa tak perlu dicemburui
Apalagi jika aku tak lakukan apa-apa

Tidak bisakah
Salah dan cemburu itu menjadi satu
Jika mungkin melakukan apa-apa bersama…

December 10, 2008

just feel

yang nulis isma di 3:41 PM 0 komentar
setiap kali merasa seperti ini
ingin sekali aku meletakkan rasaku
di tempat yang tak tersentuh
dan aku tak perlu merasakannya hari ini

tapi setiap kali itu pula
aku tak bisa melakukannya
dan aku selalu sepi dan tersayat
berenang dalam asin air mata

jika memang ini cukup rasaku
biarkan aku merasakannya dalam diam
sendiri...

December 07, 2008

Isakan Nania

yang nulis isma di 9:11 AM 0 komentar
Nania bersorak. Pagi yang sudah ditunggunya sejak semalam datang juga. Tak perlu menunggu matahari bergerak sampai tepat di atas kepala, Nania ingin segera menemui Ibu. Apalagi kalau Ibu tak juga kunjung menemui dirinya di dalam kamar. Padahal ia tengah sendirian. Ah Ibu, sedang sibuk apakah dirimu.

Ibu baru datang dua hari yang lalu. Datang dari kotanya yang jauh, khusus menemui Nania yang katanya dirindukannya. Semalam Ibu membacakan cerita malam sampai Nania terlelap. Tentu saja Nania bahagia. Karena tak setiap hari, tak setiap menit ia bisa berdekat-dekat dengan Ibu. Dan, saat ini yang Nania inginkan hanya menumpahkan rasa kangennya pada sang Ibu. Tak peduli hari masih pagi, bahkan embun pun belum sepenuhnya teruapi. Egois sekali Nania.

Nania berjingkat. Melangkah keluar dari kamarnya menuju kamar Ibu. Di tangan kanannya tergenggam buku cerita bergambar. Ia ingin Ibu membacakannya sehingga tak jauh-jauh darinya. Pasti Ibu akan tersenyum bahagia, puteri kecilnya menemuinya lebih dulu. Nania berbinar. Memancarkan kerinduan, dan pasti Ibunya pun akan sangat bahagia karena ia pun merindukan puterinya.

Dengan sekali putar pintu kamar Ibu terbuka. Tanpa ucap salam apalagi mengetuk bidang kotak itu. Nania hanya ingin Ibu. Nania tak menyadari jika Ibu justru tersentak dan terkesiap. Karena dibuat bangun tiba-tiba dari tidurnya yang lelap. Napasnya tersengal-sengal. Dialihkannya selimut tebal yang semula menyelimutinya ke tepi ranjang. Ia melihat Nania sudah berdiri di depan pintu. Matanya menatap tajam, kesal. Nania tidak sopan.

Mendapati Ibu tampak menyimpan amarah, Nania cemberut. Dilemparkannya buku cerita di tangannya tanpa arah. Ia hentakkan dua kakinya karena kesal. Ibu tak senang melihat kedatangannya pagi itu.

Seketika Ibu meradang. Dengan mata tajam, melontarkan peluru tanpa bisa diam…

“Bisa nggak sih ketok pintu dulu. Nggak sopan! Emang Ibu pernah masuk kamar Nania tanpa ketok pintu. Enggak kan? Ibu tahu, tidak ada yang Ibu rahasiakan. Tapi, kan tidak sopan. Lagian kenapa pagi-pagi sudah ngoyak-ngoyak menemui ibu. Baca cerita? Semalam baru juga Ibu membacakannya untuk Nania. Gantian dong. Ibu perlu istirahat. Ibu juga tidak ke mana-mana. Kenapa marah-marah begitu? Tahu diri dong. Egois banget!...”

Nania terdiam. Gerakan kakinya terhenti. Ia tak mengisak, tapi bulir air mata menetes di pipinya. Bukan karena kata-kata ibu, melainkan ia belum pernah mendapat kemarahan seperti itu sebelumnya. Seolah ia bukan Ibu. Dan, Nania kecil pun berlalu membawa luka sebagai orang lain di hadapan Sang Ibu. Sakit.
 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea