Cerita ini mengawali penjelajahan saya ke Toronto dan Montreal Canada, pada 12-18 Oktober 2011. Perjalanan pertama keluar-keluar negeri yang benar-benar sendirian. Saya sebut ‘keluar’ dua kali karena saya harus apply Canadian visa, menambah jejak visa-visa di passport saya setelah visa USA. Artinya, saya akan melewati batas antara dua negara yang notebene luar negerinya Indonesia, yaitu USA dan Canada. Malah temen saya bilang, “Wah, ini perjalanan yang jauhnya melebihi Makah.” Gubrak!
Acara apply visa adalah proses pertama yang harus saya lalui. Tak seperti visa USA, ternyata apply Canadian visa di Indonesia tak bisa dilakukan secara online. Saya harus memprint out form yang sudah saya isi, lalu mengirimkannya atau mengantarkannya langsung bersama dokumen-dokumen yang disyaratkan. Selain itu, kedutaan Canada mempercayakan segala urusan visa ke lembaga swasta, dan tidak ada proses interview seperti mengurus visa USA. Sebenarnya lebih mudah dan cepat, hanya saja waktu itu info yang saya dapat dari web Canadian embassy tidak lengkap. Sehingga, terjadilah hal-hal yang musti terjadi.
Kejadiannya bermula dari pertanyaan saya ke mas CS di lembaga swasta itu, setelah dia memberikan keputusan bahwa saya masih harus menyerahkan bank draft, bank statement, dan ittenary. “Trus, saya bisa dapat bank draft di mana Mas?” begitu saya bertanya. “Di bank sebelah. Di sebelah gedung ini,” kata Masnya. “Okay, makasih Mas. Nanti saya ke sini lagi,” jawab saya akhirnya dengan penuh percaya diri bahwa saya akan segera kembali dalam waktu sesingkat mungkin.
Begitu keluar gedung, saya menoleh ke kanan dan ke kiri, coba menemukan yang namanya bank sebelah. Mata saya menangkap CIMB Niaga Syariah di sebelah kiri gedung. Well, tanpa banyak berpikir, saya mendekat ke arah gedung yang bertuliskan itu. Saya masuk dan menjelaskan kalau saya mau bayar visa Canada. Jujur ya, sebenarnya saya tidak ada gambaran seperti apakah bank draft itu. Yang ada dalam pikiran saya persis seperti yang saya lakukan waktu membayar visa USA, saya tinggal bilang mau bayar visa, isi form, mereka terima uang, lalu dikasih kuitansi. Selesai. Ternyata, kali ini saya salah pikir, dan ini menggoreskan cerita yang melelahkan tapi lucu.
Ternyata bank sebelah kiri pertama tak bisa melayani pembayaran visa. “Coba ke bank sebelah ini mbak,” saran mas satpam bank tersebut. “Emang di sebelah ada bank apa mas?” tanyaku. Si mas menyebut nama sebuah bank swasta. Sebetulnya sebelum melangkah, hati kecil saya mengusulkan untuk berbalik saja, mencari bank sebelah kanan gedung. Karena saya sempat melihat tulisan CIMB Niaga yang bukan syariah, terletak di sebelah kanan gedung. Tapi, dasar skenarionya memang demikian, saya tak mempedulikan suara hati saya, dan terus melangkah menuju bank sebelah, sebelahnya bank sebelah yang pertama.
Naas, bank yang kedua juga tak bisa, malah sempat bingung, bank draft semacam apa. Sampai di sini saya sebenarnya pingin balik ke bank yang sebelah kanan, tapi tak yakin juga. Selain, lumayan jauh jalannya. Akhirnya saya lebih memilih bertanya lagi, “Di sebelah ada bank lagi nggak Pak?” dan dijawab kalau masih ada satu bank berjarak beberapa blok. Terseok-seok sambil berusaha menikmati, saya melanjutkan perjalanan mencari bank sebelah. Bersorak rasanya waktu si mbak teller bank sebelah yang ketiga mengerti maksud dan tujuan saya. However, dia bilang, “Tapi, yang bisa menerbitkan bank draft kantor pusat Bu.” Telak. Pletak. Mana jarum jam di dinding sudah hampir menuju ke angka 3 yang artinya, kantor pusat akan segera tutup. “Masih bisa kok Bu, segera saja ya ke sana.”
Keluar dari bank ketiga, saya menengok ke kanan ke kiri lagi, mencari-cari tenaga pertolongan. Bersyukur ada mas ojek yang mengerti di mana lokasi kantor pusat bank itu, dan mau saya order untuk antar-balik. Dan, setelah sekitar tujuh menit perjalanan, saya sampai di kantor pusatnya bank sebelah ketiga. Sudah hampir tak ada nasabah, jadi saya tak perlu antri. Malah, langsung diantarkan ke yang berwewenang untuk menerbitkan bank draft. Sayang, saya harus kecewa dalam hati karena si bapak tellernya bilang, “Kita bisa menerbitkannya besok Bu, karena sekarang sudah hampir jam 3. Ini makan waktu soalnya.” Mungkin kalau ada kaca, saya bisa langsung melihat perubahan wajah saya, dari berseri-seri menjadi bercerai-berai. Mau tak mau saya memang harus mengompromikan diri dengan keadaan. “Yo wislah, meh kepiye maneh,” begitu kira-kira bunyi kalimat neriman saya.
“Dari mana bu?” tanya teller yang lain. Mungkin kasihan melihat wajah nelongso saya. “Jogja Mbak.” Dia terbelalak, “Kok jauh-jauh datang ke sini?” Saya tersenyum, “Ya ini mbak, ngurus visa.” Dia mengangguk-angguk, dan balas tersenyum melepas saya yang berlalu. Waktu itu saya jadi teringat kata-kata paklek saya, “Nek iyo mosok orao, nek ora mosok iyoho.” Rencana saya berangkat pagi-pagi dari Slipi, sebenarnya supaya semua urusan bisa selesai hari ini, jadi besok tinggal istirahat setengah hari sebelum balik langsung ke Jogja. Ternyata, tetep tidak bisa. Biarpun saya sudah berusaha sekuat tenaga. Memburu warnet, puter-puter sampai blok M, untuk memprint bank statement dan langsung pesan tiket untuk dapat ittenary. Tetap, tidak bisa terselesaikan dalam sehari. Karena, memang skenarionya ora, yo ora bakalan iyo. "Mas, nganter ke Slipi bisa kan," ucap saya akhirnya pada si abang ojek, mengakhiri petualangan visa hari itu.
________________________________________________________
mudik ke manoa
-
waktu aku akan balik ke indonesia dari hawaii tahun 2012, aku sudah
berharap kalau suatu saat akan bisa datang lagi ke pulau cantik ini.
harapan itu teru...
5 years ago
0 komentar:
Post a Comment