Musik. Hebat sekali, bisa membawaku kembali ke masa lalu meskipun aku tak sedang ingin melakukannya. “Matikan saja instrumen itu,” perintah hatiku. Tapi, tetap saja aku menikmatinya. Petikan gitar dan nada lembut piano membuat malamku semakin dingin dan basah.
Waktu itu tak sengaja, ketika aku mengopi file dari laptop temenku, aku menemukan satu folder berjudul instrumen dan iseng aku meminta izin untuk mengopinya juga. Di lantai dua kos-kosan Paseban, lamat-lamat aku putar instrumen itu. Di antara deru suara kereta api senja utama, sambil terkantuk-kantuk musik itu juga terdengar lewat USB putihku. Dan malam ini, ketika aku memutarnya kembali di sebuah kamar kecil di Hale Manoa, semua kenangan itu bermunculan satu per satu. Ternyata tak cuma tulisan, pahatan, gambar, atau foto yang bisa menyimpan memori. Musik juga sangat lihai melakukannya, menelusup jauh ke palung hati, dan semua kenangan itu pun terurai.
Kos-kosan yang aku maksud itu adalah tempatku dan teman-teman sesama murid LBI UI tinggal untuk tiga bulan terakhir sebelum kursus berakhir. Seperti umumnya kos-kosan di Jakarta, ia terletak jauh menelusup di tengah perkampungan yang padat. Melewati kelok-kelokan jalan setapak, di antara dinding-dinding rumah, got, dan gerobak para penjual makanan keliling. Ada gapura kecil di mulut gang, juga gedung sebuah lembaga kursus yang lumayan besar dan selalu ramai pada jam-jam sekolah. Di dekat gedung itu, ada warnet langgananku. Meskipun kecil, ia sangat berjasa karena mencatat sejarah jatuh bangunnya aku menanti jawaban akan sekolah di universitas mana, juga mendaftar visa secara online, atau sekadar mengganti status dan up load foto di facebook yang semuanya tentang masa-masa di Jakarta.
Musik itu juga mengingatkanku pada suasana kamar kos yang selalu saja panas. Membuatku selalu berkeringat. Juga, kasurnya yang seperti papan kayu meski temen-temenku menyebutnya terbuat dari kapuk. Nyaris tak ada mendut-mendutnya. Aku hampir tak pernah berguling-guling dulu sebelum akhirnya tertidur. Aku akan sampai ke kamar menunggu keadaan mengantuk akut, meski kadang aku tetap susah untuk memejamkan mata karena panas dan atos. Masih juga ditambah dengan serbuan nyamuk Jakarta yang besar-besar. “Jangan lupa tutup jendela Is, sebelum tidur,” pesan temen sekamarku. Padahal satu-satunya harapan untuk mendapatkan semilir angin cuma dari jendela yang terbuka. Jadi pilihannya adalah digigiti nyamuk atau kepanasan di dalam kamar, dan aku memilih membuka jendela dan melumuri kulitku dengan lotion antinyamuk.
Terkenang akan kos-kosan, aku juga jadi teringat padat lalu lalang kendaraan di Jakarta. Membonceng sepeda motor yang meliuk-liuk di antara bus dan mobil, menawar harga sebelum naik bajaj, duduk menunggu di dalam angkot yang maunya penuh penumpang, atau berdiri berdesakan di antara para pengguna bus way. Rute yang biasa aku lalui adalah salemba, senen, slipi, tanah abang, kuningan, manggarai, sudirman, pernah juga sampai bogor atau bekasi. Berpapasan dengan wajah-wajah lelah meskipun pagi baru dimulai. Wajah penat ibukota, atau sikap tak bersahabat juga kalimat-kalimat kasar yang menyakitkan. Ada benarnya juga orang yang mengatakan, sejahat-jahatnya ibu tiri tak jauh lebih menyiksa dari kejamnya Ibukota.
Petikan gitar musik itu juga menggelitik endapan kenanganku pada suasana stasiun senen, tempat mangkalku setiap wiken untuk pulang kampung. Menunggu jam berangkat kereta sambil main hape. Ramai penjual asongan berseliweran, atau kelompok pengamen yang itu-itu saja. Aku ingat pengamen “cengkluwer” yang biasanya akan muncul saat kereta berhenti di stasiun wates. Dandanannya yang nyentrik dan suaranya yang khas. Berat dan basah. Dia akan memanggil setiap penumpang perempuan dengan “mbok dhe”. Temenku pernah marah-marah karena dia merasa belum setua mbok dhe, dan aku terkekeh-kekeh. Saat tengah malam, yang terdengar hanya suara gilas roda kereta, musik yang aku putar terdengar nyaring di telinga, di tengah-tengah aroma kecut khas keringat penumpang kereta. Sendiri membelah perjalanan malam, kadang sebangku dengan penumpang yang cerewet tapi kadang juga dengan penumpang yang diam seribu bahasa.
Semua bermunculan satu per satu. Aku sebenarnya ingin tak mengingatnya karena hanya membuatku dingin dan basah. Seharian ini Manoa sudah cukup dingin dan basah. Jadi, baiknya memang ganti musik saja …
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
0 komentar:
Post a Comment