Suatu sore di
Melbourne, tepatnya di Fitzroy bagian utara, orang-orang tengah berdiri
menunggu di emperan sebuah restoran. Pada jendela kaca dan sebuah papan nama
berwarna putih yang ditempel cukup tinggi di dinding luar restoran, tertulis
nama Moroccan Soup Bar. Ini adalah sebuah restoran yang menawarkan menu
vegetarian dan diolah dengan bumbu khas Maroko. Tak cuma lewat masakannya,
restoran yang terletak bersebelahan dengan toko The Old Post Office Antiques
ini menampilkan identitas kemarokoannya melalui lukisan dan lampu-lampu sebagai
hiasan interior. Tampak unik dan khas.
Kenangan tentang
restoran ala Maroko ini membuka ingatan saya akan perjalanan Muslim Exchange
Program 2014. Di antara sekian banyak perbincangan, diskusi, berbagi pengalaman,
dan pembelajaran yang saya dapat lewat kunjungan ke organisasi dan lembaga,
satu hal yang tak kalah menarik untuk diceritakan adalah tentang sajian kulinernya
yang menggoda. Makanan-makanan ini berbeda-beda setiap harinya, membentangkan
ragam budaya dan negara asal pengolahnya. Dan karena memang dimasak oleh juru
masak dari negara asal makanan tersebut, soal rasa jangan ditanya enaknya.
“Kami sengaja tidak
menyediakan informasi menu tertulis, karena kami sendiri yang akan menjelaskan
menu apa yang kami masak hari ini,” ucap Hanna Assafiri, sang pemilik Moroccan
Soup Bar, begitu saya dan teman-teman sudah menempati dua deret meja persegi
panjang di dalam restoran yang tak terlalu luas itu. Melalui menu yang
dituturkan, Hanna merasa sambutan dan pelayanan kepada tamu berasa lebih
personal karena face to face. Ia juga
menjelaskan kalau restorannya tidak banyak mengambil untung dan hanya
mempekerjakan perempuan untuk pemberdayaan. “Begitulah saya ingin menerapkan prinsip-prinsip
Islam di restoran ini,” lanjutnya.
Menarik sekali,
pikir saya. Apalagi baru sekali itu saya menikmati masakan Maroko dan mendapati
‘spoken menu’ yang diterapkan pemiliknya. Memiliki usaha restoran bukan semata
untuk bisnis melainkan juga untuk memperkenalkan dan membangun kedekatan tentang
nilai dan budaya asal mereka kepada warga setempat di tempat baru. Sajian asal
warga pendatang secara perlahan berhasil menjembatani penerimaan dan pembauran
nilai dan budaya. Jika dulu aroma kunyit dan jintan tercium aneh, misalnya, lambat
laun kedua rempah itu justru menjadi daya tarik bagi warga setempat untuk
menikmati makanan berkunyit dan berjintan itu lagi. Apalagi jika dibumbui
dengan pendekatan personal seperti yang dilakukan Hanna. Ia tidak hanya
menjelaskan menu yang akan disajikan, dengan senang hati ia juga bersedia
berbagi cerita awal mula ia membangun restorannya.
Pengalaman yang
kurang lebih sama saya alami ketika saya tinggal bersama host family untuk satu malam di pinggiran Melbourne. Host family saya secara budaya lebih
dekat dengan Malay karena Ibu berasal dari Singapore, meskipun sang Ayah
berasal dari Australia. Mereka memiliki dua anak yang lucu, perempuan dan
laki-laki. “Kita akan pergi makan pho di restoran Vietnam,” jelas Ibu. “Isma
sudah pernah makan pho?” lanjutnya. Saya mengangguk. “Saya suka pho. Itu
termasuk makanan favorit.” Berlima kami satu mobil sedan menuju Zin Viet
Authentic Vietnamese restaurant. Saya duduk di jok tengah bagian belakang, diapit
dua car seat untuk balita di sebelah kanan dan kiri. Sementara Ibu pegang setir
dan Ayah di sebelahnya.
Selain saya, Ibu
juga mengundang tiga keluarga Malay yang lain untuk ikut bergabung. Mereka
datang bersama anak-anak mereka yang juga masih kecil-kecil. Meskipun cara sajian
menu di restoran ini masih konvensional, dengan ditulis, saya tetap merasakan
bagaimana pho yang bukan masakan khas negara saya juga keluarga yang lain, bisa
kami terima dan nikmati bahkan menjadi makanan favorit. Sepanjang kami
menikmati pho, mengalir juga obrolan tentang kehidupan di Melbourne, kabar
keluarga di Singapore, cerita tentang liburan atau restoran pho lain yang biasa
mereka singgahi. “Ini restoran baru, dan kami mau ke sini karena halal,” jelas
Ibu.
Pada kesempatan
lain, ketika saya dan teman-teman berkunjung ke sebuah masjid tua di Soperton,
seorang perempuan berjilbab datang menghampiri kami. “Apakah kalian sudah
makan?” ia bertanya. Saya melempar pandang ke arah Tara meminta persetujuan.
Kami belum makan, tapi menerima tawaran makan dari orang asing? Saya masih
merasa tidak aman dan nyaman. Ini bukan soal makanan enak atau tidak enak,
melainkan tentang keamanan. “Kami baru saja mengadakan syukuran, dan masih
banyak makanan tersisa. Kami mengundang kalian untuk makan di rumah kami,”
jelasnya lagi. Menangkap maksud baik si Ibu, saya dan teman-teman pun
mengangguk menerima ajakan makan malam di rumahnya.
Kami hanya perlu
menyeberang jalan beraspal di depan masjid untuk sampai di rumah si Ibu. Selain
si Ibu, ada dua perempuan berjilbab lain yang membantu untuk menyiapkan makan
malam kami. Sambil menikmati sajian masakan India, setelah yang pertama kami
menikmatinya di restoran Curry Vault di Melbourne, kami saling bercerita. Si Ibu dan
suaminya berasal dari Hyderabad, India tapi sudah lama menetap di Soperton. Satu
orang perempuan dari Indonesia, dan setelah melewati proses panjang akhirnya
bisa tinggal di Australia. Sementara satunya lagi lahir dan besar di Australia
dan baru saja masuk Islam, dan untuk itulah ia mengadakan syukuran. Kami
bercerita seperti kawan lama yang sudah saling kenal sebelumnya. Padahal, kami
baru beberapa jam lalu bertemu di halaman bagian dalam masjid untuk jamaah
puteri.
Dan masih banyak
cerita-cerita di sela-sela sajian menu yang beragam sepanjang dua minggu
perjalanan MEP 2014. Saya yang lahir dan tumbuh di lingkungan Jawa Indonesia,
ketika berkunjung ke Australia ternyata mendapat suguhan masakan rasa
Indonesia, Malaysia, Vietnam, India, Maroko, Turki, dan masih banyak lagi, bahkan
hingga Uighur. Sambil saya menikmati kuliner, saya pun merasakan keragaman
budaya di Australia.
___________________________________
sumber:
Nor Ismah, "Menikmati Kuliner, Merasakan Keragaman Budaya di
Australia", Yanuardi Syukur (Ed.) Hidup Damai di Negeri Multikultur: Pengalaman Peserta Pertukaran Tokoh Muda Muslim Australia-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2017)
0 komentar:
Post a Comment