aku selalu
deg-degan setiap kali mau ketemu pembimbing. meskipun aku sudah persiapkan, apa
yang nanti mau aku omongkan. "ingat ya, jangan bilang kamu malas nulis.
bilang aja kehilangan motivasi," pesan temenku ketika aku bilang kalau aku
mau ketemu pembimbing untuk curhat. tapi benar juga, kata malas itu nggak elit
haha dibandingkan kehilangan motivasi.
aku melangkah pasti ke kantor pembimbing, sambil merapatkan jaket eager coklat yang kupakai dan memeluknya erat-erat. kurasakan degup jantungku semakin kuat. apalagi selesai aku melewati banyak tangga untuk sampai di depan pintu kantornya yang terbuka. "give me a second," ucapnya setelah mempersilakanku masuk. ia sibuk meneliti print-outan kertas di tangannya. "hmm, I can't find the reference!" gerutunya. aku mengamati saja, sambil mengatur napas, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. beberapa tumpukan kertas tampak rapi berjajar-jajar, yang sepertinya ditata sesuai bundelan masing-masing. di sebelah kiriku, ada rak buku yang tak terlalu penuh isinya. tapi yang menarik perhatianku adalah print out rekaman percakapan lewat what's app yang tertumpuk rapi di bagian bawah rak. di seberang tempat aku duduk, ada juga rak buku yang lain. aku lihat delapan buku agenda tertumpuk dengan apik. aku berasumsi itu adalah tumpukan hasil fieldnotenya.
“okay, aku mau ambil kopi dulu. kamu mau kopi?” suaranya mengagetkanku. aku menggeleng. “air?” sekali lagi aku menggeleng. “OK. kamu tunggu sebentar ya,” ucapnya kemudian berlalu keluar ruangan. sementara aku, bengong saja. untung tidak lama, aku sudah mendengar suara langkah kaki mendekat. ia masuk kembali dan menutup pintu. setelah meletakkan mug berisi kopi di meja kerjanya, ia menggeser kursinya tepat di hadapanku. dan kemudian, “OK …” hempasnya begitu tubuhnya mendarat di atas tempat duduknya. itu saja. lalu kami saling diam beberapa detik, dan melempar senyum. ia tampak mencari-cari kalimat yang tepat untuk memulai sesi curhat. sementara aku malah tertawa karena lucu melihat kami sama-sama kagok.
aku melangkah pasti ke kantor pembimbing, sambil merapatkan jaket eager coklat yang kupakai dan memeluknya erat-erat. kurasakan degup jantungku semakin kuat. apalagi selesai aku melewati banyak tangga untuk sampai di depan pintu kantornya yang terbuka. "give me a second," ucapnya setelah mempersilakanku masuk. ia sibuk meneliti print-outan kertas di tangannya. "hmm, I can't find the reference!" gerutunya. aku mengamati saja, sambil mengatur napas, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. beberapa tumpukan kertas tampak rapi berjajar-jajar, yang sepertinya ditata sesuai bundelan masing-masing. di sebelah kiriku, ada rak buku yang tak terlalu penuh isinya. tapi yang menarik perhatianku adalah print out rekaman percakapan lewat what's app yang tertumpuk rapi di bagian bawah rak. di seberang tempat aku duduk, ada juga rak buku yang lain. aku lihat delapan buku agenda tertumpuk dengan apik. aku berasumsi itu adalah tumpukan hasil fieldnotenya.
“okay, aku mau ambil kopi dulu. kamu mau kopi?” suaranya mengagetkanku. aku menggeleng. “air?” sekali lagi aku menggeleng. “OK. kamu tunggu sebentar ya,” ucapnya kemudian berlalu keluar ruangan. sementara aku, bengong saja. untung tidak lama, aku sudah mendengar suara langkah kaki mendekat. ia masuk kembali dan menutup pintu. setelah meletakkan mug berisi kopi di meja kerjanya, ia menggeser kursinya tepat di hadapanku. dan kemudian, “OK …” hempasnya begitu tubuhnya mendarat di atas tempat duduknya. itu saja. lalu kami saling diam beberapa detik, dan melempar senyum. ia tampak mencari-cari kalimat yang tepat untuk memulai sesi curhat. sementara aku malah tertawa karena lucu melihat kami sama-sama kagok.
“you are writing,” ia membuka obrolan. “yes, i am. meskipun
lambat,” balasku. aku tambahkan kalau aku menulis dengan bahasa indonesia dulu
kemudian aku terjemahkan. “ya, itu masuk akal. nggak masalah. apakah ada
masalah writing block atau hal lain?” tanyanya. aku bilang, kalau aku tidak
punya masalah dengan tulisanku karena aku tahu apa yang ingin aku tulis. dan
sesuai pesan temanku, aku bilang kalau aku kehilangan motivasi untuk menulis. “apa
yang membuatmu kehilangan motivasi?” ia bertanya. aku berpikir. apa ya? yap. aku
bilang kalau beberapa bagian isi chapter ini hampir sama dengan artikelku yang
sudah terbit. jadi, aku berusaha keras untuk membuat bagaimana chapter ini
berbeda sama sekali dengan artikelku itu. rasa-rasanya seperti kerja dobel dan
aku jadi malas duluan. aku sudah cerita soal ini ke pembimbingku yang lain
sebenarnya. “what did he say,” tanyanya. “he didn’t reply my email,” jawabku
sambil tersenyum.
“kenapa kamu menyiksa diri,” ia meresponse. lanjutnya
lagi, bahwa tak ada masalah jika konten chapterku sama dengan artikel yang
sudah aku tulis. karena banyak yang membuat disertasi dari kumpulan published
articles. lalu tinggal tulis pendahuluan dan penutup untuk menghubungkan
antarchapternya. selesai. bahkan kalau aku mau, bisa sama persis, tak masalah. bisa
juga misalnya, aku buka file wordnya, lalu menambahkan atau mengurangi
bagian-bagian yang sekiranya perlu diubah pada bagian-bagian tertentu. bum,
selesai. “cuma lain soal, kalau kamunya memang tidak suka.” aku bengong. heran,
kenapa aku tidak berpikir sesimpel itu ya. hmm, tapi bagaimana dengan self
plagiarism?
“bagaimana kalau aku mau mempublikasikan disertasiku
jadi sebuah buku. aku khawatir dengan self plagiarism?” tanyaku. sekilas aku
lihat dia tersenyum. “menurutku, konsep self plagiarism itu nggak tepat. mana
ada kita mencuri milik kita sendiri. selain itu, disertasi itu kan unpublished
work. kalau mau dipublish, gampang saja. tinggal kasih tahu penerbit bukunya
kalau chapter ini beberapa persen diambil dari artikelmu yang sudah published. selain,
meminta izin kepada penerbit jurnal kalau beberapa bagian dari isi artikel akan
menjadi chapter di buku tersebut,” jelasnya. ia tak cuma menjelaskan di atas
awang-awang karena ia memberiku contoh langsung. ia memperlihatkan dua buku,
yang satu berisi kumpulan tulisan dan salah satunya adalah artikelnya yang
terbit sebelum disertasinya selesai. buku satunya lagi adalah disertasinya yang
diterbitkan. aku baru sadar ternyata judul artikelnya itu nyaris sama dengan
judul chapter di dalam bukunya. dan aku juga baru sadar, ternyata aku bego
banget hahaha.
“trus apa yang mau kamu tulis di chaptermu ini?”
tanyanya. aku berpikir sejenak. untunglah aku sudah punya outline dan hafal
saking lamanya dipikir dan tak kunjung selesai haha. aku jelaskan aku akan
membahas ini dan ini, jadi ada empat sections dalam chapter yang sedang aku
kerjakan. “aku sudah selesai dengan biografi keempat narasumber utama, meskipun
belum memasukkan literature,” tambahku. di luar dugaan, ia menjawab, “lupakan
literature dan theory. kamu bisa lakukan itu nanti. sekarang, tulis apa yang
kamu dapatkan di lapangan. apa yang mereka katakana. apa yang kamu lihat,
dengar, dan pikirkan.” mendengar jawaban ini aku langsung sumringah. lega. haha
aku tidak lagi merasa bersalah. “bahkan, kalau kamu belum bisa menulis
kesimpulan chapter, tak masalah. atau tulis saja satu paragraph sudah cukup,”
lanjutnya. aku tambah sumringah gaess!
ia lalu bercerita tentang metode yang dipakai ibunya
dalam menulis. “ibuku seorang akademisi. dia menjelaskan kepada mahasiswanya,
untuk memancing kita menulis, anggaplah sebagai latihan, ia disarankan menulis
surat untuk ibunya atau temannya, atau siapa pun yang tidak tahu menahu tentang
topic penelitiannya. dijelaskan dengan bahasa sederhana, tanpa literature dan
theory. surat itu bisa dikirim beneran atau tidak. karena bukan itu fokusnya. tapi,
latihan mengartikulasikan gagasan ke dalam tulisan sederhana. malah, bisa jadi
bagian dari surat itu dipakai untuk isi chapter atau disertasi yang sedang
ditulis,” jelasnya. menarik. bisa dipraktikkan untuk memancing mood menulis. yaitu,
menulis surat. “okay, noted,” jawabku mantap.
“well, kita sudah membahas soal self plagiarism, lalu
literature dan theory. kita lempar keduanya lewat jendela,” ia melanjutkan
obrolan. aku tertawa. “lalu, apa lagi yang membuatmu kehilangan motivasi?” aku
kembali berpikir, sampai aku menemukan satu persoalan lagi. aku tidak percaya
diri dengan penelitianku. “kadang muncul pikiran kalau penelitianku nggak
menarik atau sudah banyak dibicarakan orang. apakah tulisanku cukup intelek,
tapi kok rasa-rasanya kayak sampah aja,” curhatku. lagi-lagi ia tersenyum. menurutnya,
itu normal. semua mahasiswa PhD merasakan hal yang sama. malah kalau aku tidak
merasakan itu, termasuk abnormal haha. cuma, ia tidak bisa juga memberikan
motivasi dengan misalnya mengatakan, oh penelitianku bagus bla bla bla. meskipun
kemudian ia melakukannya. “sesekali buka kembali lembaran prestasimu. misalnya,
ini jurnal asian studies reviews. kamu menjadi salah satu penulis di antara
scholars yang berbicara tentang female authority. tulisanmu dikutip. lalu
dengan menulis disertasi, kamu akan dapat kesempatan untuk menuliskan topic itu
lebih lengkap lagi,” ucapnya. dan jujur, saat itu aku jingkrak-jingkrak di
dalam hati.
belum lagi ketika ia bilang kalau aku smart dengan
penyajian dataku. karena aku memulainya dengan biografi empat informan utama,
sehingga menarik pembaca langsung ke core issue. “selama ini aku perhatikan,
kamu well planned kok. ini jauh lebih baik dari pengalamanku dulu. kamu tahu
apa yang akan kamu tulis. struktur disertasi yang kita diskusikan dulu itu
logic. nico juga suka,” tambahnya. aku melongo, sambil mikir, bukannya memang
harus punya struktur jelas dulu ya sebelum menulis. apa maksudnya dengan
kata-katanya kalau pengalamanku lebih baik dari yang dialaminya. well, mungkin
aku salah tangkap, atau ia berusaha menghiburku haha. whatever lah. bagiku ini
sudah berasa sebagai suntikan motivasi yang luar biasa.
0 komentar:
Post a Comment