August 31, 2018

Curhat pada Suatu Sore

yang nulis Isma Kazee di 3:41 AM

aku selalu deg-degan setiap kali mau ketemu pembimbing. meskipun aku sudah persiapkan, apa yang nanti mau aku omongkan. "ingat ya, jangan bilang kamu malas nulis. bilang aja kehilangan motivasi," pesan temenku ketika aku bilang kalau aku mau ketemu pembimbing untuk curhat. tapi benar juga, kata malas itu nggak elit haha dibandingkan kehilangan motivasi.

aku melangkah pasti ke kantor pembimbing, sambil merapatkan jaket eager coklat yang kupakai dan memeluknya erat-erat. kurasakan degup jantungku semakin kuat. apalagi selesai aku melewati banyak tangga untuk sampai di depan pintu kantornya yang terbuka. "give me a second," ucapnya setelah mempersilakanku masuk. ia sibuk meneliti print-outan ke
rtas di tangannya. "hmm, I can't find the reference!" gerutunya. aku mengamati saja, sambil mengatur napas, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. beberapa tumpukan kertas tampak rapi berjajar-jajar, yang sepertinya ditata sesuai bundelan masing-masing. di sebelah kiriku, ada rak buku yang tak terlalu penuh isinya. tapi yang menarik perhatianku adalah print out rekaman percakapan lewat what's app yang tertumpuk rapi di bagian bawah rak. di seberang tempat aku duduk, ada juga rak buku yang lain. aku lihat delapan buku agenda tertumpuk dengan apik. aku berasumsi itu adalah tumpukan hasil fieldnotenya.

“okay, aku mau ambil kopi dulu.
kamu mau kopi?” suaranya mengagetkanku. aku menggeleng. “air?” sekali lagi aku menggeleng. “OK. kamu tunggu sebentar ya,” ucapnya kemudian berlalu keluar ruangan. sementara aku, bengong saja. untung tidak lama, aku sudah mendengar suara langkah kaki mendekat. ia masuk kembali dan menutup pintu. setelah meletakkan mug berisi kopi di meja kerjanya, ia menggeser kursinya tepat di hadapanku. dan kemudian, “OK …” hempasnya begitu tubuhnya mendarat di atas tempat duduknya. itu saja. lalu kami saling diam beberapa detik, dan melempar senyum. ia tampak mencari-cari kalimat yang tepat untuk memulai sesi curhat. sementara aku malah tertawa karena lucu melihat kami sama-sama kagok.

“you are writing,” ia membuka obrolan. “yes, i am. meskipun lambat,” balasku. aku tambahkan kalau aku menulis dengan bahasa indonesia dulu kemudian aku terjemahkan. “ya, itu masuk akal. nggak masalah. apakah ada masalah writing block atau hal lain?” tanyanya. aku bilang, kalau aku tidak punya masalah dengan tulisanku karena aku tahu apa yang ingin aku tulis. dan sesuai pesan temanku, aku bilang kalau aku kehilangan motivasi untuk menulis. “apa yang membuatmu kehilangan motivasi?” ia bertanya. aku berpikir. apa ya? yap. aku bilang kalau beberapa bagian isi chapter ini hampir sama dengan artikelku yang sudah terbit. jadi, aku berusaha keras untuk membuat bagaimana chapter ini berbeda sama sekali dengan artikelku itu. rasa-rasanya seperti kerja dobel dan aku jadi malas duluan. aku sudah cerita soal ini ke pembimbingku yang lain sebenarnya. “what did he say,” tanyanya. “he didn’t reply my email,” jawabku sambil tersenyum.

“kenapa kamu menyiksa diri,” ia meresponse. lanjutnya lagi, bahwa tak ada masalah jika konten chapterku sama dengan artikel yang sudah aku tulis. karena banyak yang membuat disertasi dari kumpulan published articles. lalu tinggal tulis pendahuluan dan penutup untuk menghubungkan antarchapternya. selesai. bahkan kalau aku mau, bisa sama persis, tak masalah. bisa juga misalnya, aku buka file wordnya, lalu menambahkan atau mengurangi bagian-bagian yang sekiranya perlu diubah pada bagian-bagian tertentu. bum, selesai. “cuma lain soal, kalau kamunya memang tidak suka.” aku bengong. heran, kenapa aku tidak berpikir sesimpel itu ya. hmm, tapi bagaimana dengan self plagiarism?

“bagaimana kalau aku mau mempublikasikan disertasiku jadi sebuah buku. aku khawatir dengan self plagiarism?” tanyaku. sekilas aku lihat dia tersenyum. “menurutku, konsep self plagiarism itu nggak tepat. mana ada kita mencuri milik kita sendiri. selain itu, disertasi itu kan unpublished work. kalau mau dipublish, gampang saja. tinggal kasih tahu penerbit bukunya kalau chapter ini beberapa persen diambil dari artikelmu yang sudah published. selain, meminta izin kepada penerbit jurnal kalau beberapa bagian dari isi artikel akan menjadi chapter di buku tersebut,” jelasnya. ia tak cuma menjelaskan di atas awang-awang karena ia memberiku contoh langsung. ia memperlihatkan dua buku, yang satu berisi kumpulan tulisan dan salah satunya adalah artikelnya yang terbit sebelum disertasinya selesai. buku satunya lagi adalah disertasinya yang diterbitkan. aku baru sadar ternyata judul artikelnya itu nyaris sama dengan judul chapter di dalam bukunya. dan aku juga baru sadar, ternyata aku bego banget hahaha.

“trus apa yang mau kamu tulis di chaptermu ini?” tanyanya. aku berpikir sejenak. untunglah aku sudah punya outline dan hafal saking lamanya dipikir dan tak kunjung selesai haha. aku jelaskan aku akan membahas ini dan ini, jadi ada empat sections dalam chapter yang sedang aku kerjakan. “aku sudah selesai dengan biografi keempat narasumber utama, meskipun belum memasukkan literature,” tambahku. di luar dugaan, ia menjawab, “lupakan literature dan theory. kamu bisa lakukan itu nanti. sekarang, tulis apa yang kamu dapatkan di lapangan. apa yang mereka katakana. apa yang kamu lihat, dengar, dan pikirkan.” mendengar jawaban ini aku langsung sumringah. lega. haha aku tidak lagi merasa bersalah. “bahkan, kalau kamu belum bisa menulis kesimpulan chapter, tak masalah. atau tulis saja satu paragraph sudah cukup,” lanjutnya. aku tambah sumringah gaess!

ia lalu bercerita tentang metode yang dipakai ibunya dalam menulis. “ibuku seorang akademisi. dia menjelaskan kepada mahasiswanya, untuk memancing kita menulis, anggaplah sebagai latihan, ia disarankan menulis surat untuk ibunya atau temannya, atau siapa pun yang tidak tahu menahu tentang topic penelitiannya. dijelaskan dengan bahasa sederhana, tanpa literature dan theory. surat itu bisa dikirim beneran atau tidak. karena bukan itu fokusnya. tapi, latihan mengartikulasikan gagasan ke dalam tulisan sederhana. malah, bisa jadi bagian dari surat itu dipakai untuk isi chapter atau disertasi yang sedang ditulis,” jelasnya. menarik. bisa dipraktikkan untuk memancing mood menulis. yaitu, menulis surat. “okay, noted,” jawabku mantap.

“well, kita sudah membahas soal self plagiarism, lalu literature dan theory. kita lempar keduanya lewat jendela,” ia melanjutkan obrolan. aku tertawa. “lalu, apa lagi yang membuatmu kehilangan motivasi?” aku kembali berpikir, sampai aku menemukan satu persoalan lagi. aku tidak percaya diri dengan penelitianku. “kadang muncul pikiran kalau penelitianku nggak menarik atau sudah banyak dibicarakan orang. apakah tulisanku cukup intelek, tapi kok rasa-rasanya kayak sampah aja,” curhatku. lagi-lagi ia tersenyum. menurutnya, itu normal. semua mahasiswa PhD merasakan hal yang sama. malah kalau aku tidak merasakan itu, termasuk abnormal haha. cuma, ia tidak bisa juga memberikan motivasi dengan misalnya mengatakan, oh penelitianku bagus bla bla bla. meskipun kemudian ia melakukannya. “sesekali buka kembali lembaran prestasimu. misalnya, ini jurnal asian studies reviews. kamu menjadi salah satu penulis di antara scholars yang berbicara tentang female authority. tulisanmu dikutip. lalu dengan menulis disertasi, kamu akan dapat kesempatan untuk menuliskan topic itu lebih lengkap lagi,” ucapnya. dan jujur, saat itu aku jingkrak-jingkrak di dalam hati.

belum lagi ketika ia bilang kalau aku smart dengan penyajian dataku. karena aku memulainya dengan biografi empat informan utama, sehingga menarik pembaca langsung ke core issue. “selama ini aku perhatikan, kamu well planned kok. ini jauh lebih baik dari pengalamanku dulu. kamu tahu apa yang akan kamu tulis. struktur disertasi yang kita diskusikan dulu itu logic. nico juga suka,” tambahnya. aku melongo, sambil mikir, bukannya memang harus punya struktur jelas dulu ya sebelum menulis. apa maksudnya dengan kata-katanya kalau pengalamanku lebih baik dari yang dialaminya. well, mungkin aku salah tangkap, atau ia berusaha menghiburku haha. whatever lah. bagiku ini sudah berasa sebagai suntikan motivasi yang luar biasa.

rasanya, ambrol semua beban derita dan gundah gulana. ruangan yang tak seberapa luas itu tiba-tiba berubah menjadi hamparan pantai alamoana dengan anginnya yang semilir sepoi-sepoi. rasanya, sekali menyentuh keyboard satu chapter selesai hahaha. tapi aku mendadak tergeragap ketika ia bertanya, “should we make a new deadline?” duuuh, rasanya aku langung terjerembab ndlosor di hadapan mas pembimbing ini, dan menatapnya dengan pandangan pasrah. wis mas, aku pasrah wae!

0 komentar:

 

Isma Kazee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea